Rabu, 02 November 2016

pengawasan dan pembinaan asuransi syariah

PENGAWASAN DAN PEMBINAAN ASURANSI SYARIAH

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Pendahuluan
perusahaan asuransi mempunyai peranan yang sangat luas jangkauannya yang menyangkut kepentingan-kepentingan social maupuan kepentingan ekonomi. Pada saat ini bahaya, kerusakan, dan kerugian adalah kenyataan yang harus dihadapi manusia di dunia.Sehingga kemungkinan terjadi resiko dalam kehidupan khususnya kehidupan ekonomi. Tentu saja ini membutuhkan persiapan sejumlah dana tertentu sejak dini. Oleh karena itu, banyak orang mengambil cara dan sistem untuk dapat menghindari resiko kerugian dan bahaya tersebut di antaranya adalah asuransi. Asuransi merupakan sebuah sistem untuk mengurangi kehilangan finansial dengan menyalurkan resiko kehilangan dari seseorang atau  perusahaan ke lainnya. Apabila resiko yang tak terduga itu menimpa salah seorang dari mereka yang menjadi anggota, maka kerugian akan ditanggung bersama.
Perusahaan asuransi di Indonesia saat ini dinilai belum begitu aktif dalam memberikan kontribusi bagi masyarakat.Hal ini disebabkan oleh kurangnya minat dan kepercayaan masyarakat dalam berasuransi.Kurangnya minat tersebut tak luput dari kualitas perusahaan asuransi di Indonesia yang masih kurang professional.

B.     Rumusan masalah
a.       Bagaimana pengawasan dan pembinaan kesehatan asuransi syariah ?
b.      Bagaimana pengawasan dan pembinaan penyelenggaraan usaha asuransi syariah ?
c.       Bagaimana pengawasan dan pembinaan kualitas asuransi syariah ?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pembinaan Dan Pengawasan Kesehatan Keuangan Terhadap Asuransi Syariah
Asuransi syariah merupakan asuransi yang didalam usahanya menggunakan akad yang diperbolehkan syariat Islam.Pada asuransi ini berada di dalam pembinaan dan pengawasan menteri Keuangan Republik Indonesia.Hal ini berdasarkan UU No. 2 tahun 1992 tentang usaha perasuransian yang menyatakan bahwa “Pembinaan dan pengawasan terhadap usaha perasuransian dilakukan oleh Menteri”.
Pasal 11 ayat 1 huruf a : Pembinaan dan pengawasan terhadap usaha asuransi syariah meliputi: kesehatan keuangan bagi Perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Reasuransi, yang terdiri dari:
1.      Batas tingkat solvabilitas
2.      Retensi sendiri
3.      Reasuransi
4.      Investasi
5.      Cadangan teknis
6.      Ketentuan-ketentuan lain yang berhubungan dengan kesehatan keuangan[1]

1)      Batas tingkat solvabilitas
Solvabilitas  merupakan kemampuan suatu perusahaan untuk membayar semua utang-utang perusahaan, baik utang jangka pendek maupun utang jangka panjang. Solvabilitas diukur dengan perbandingan antara total aktiva  dengan  total  utang, ukuran tersebut mensyaratkan agar perusahaan mampu memenuhi semua kewajibannya, baik kewajiban jangka  pendek maupun  kewajiban  jangka  panjang.  Perusahaan  dapat  dikatakan  dalam  kondisi ideal, apabila perusahaan dapat memenuhi kewajiban jangka pendeknya (Likuid) dan juga dapat memenuhi kewajiban jangka panjangnya (Solvable). Analisis Solvabilitas memiliki tujuan  yaitu untuk  mengetahui  apakah  kekayaan  perusahaan mampu  untuk  mendukung  kegiatan  perusahaan tersebut. [2]
Keputusan Menteri Keuangan No. 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi (“Kepmenkeu 424/2003”). Dalam Pasal 2 Kepmenkeu 424/2003 diatur mengenai batasan tingkat solvabilitas:
(1)   Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi setiap saat wajib memenuhi tingkat solvabilitas paling sedikit 120 % (seratus dua puluh perseratus) dari risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan kekayaan dan kewajiban.
(2)   Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang tidak memenuhi ketentuan tingkat solvabilitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), namun memilki tingkat solvabilitas paling sedikit 100% (seratus perseratus), diberikan kesempatan melakukan penyesuaian dalam jangka waktu tertentu untuk memenuhi ketentuan tingkat solvabilitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).[3]
2)      Retensi sendiri
Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 140 /Pmk.010/2009 retensi sendiri adalah bagian dari jumlah uang ganti rugi atas kerugian atau fasilitas jaminan untuk setiap risiko yang menjadi tanggungan sendiri tanpa didukung reasuransi atau penjaminan ulang.
PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 161 / PMK.010/ 2010 pasal 65 ayat 1:
(1)   Batas maksimum retensi sendiri penutupan asuransi dan penjamin untuk setiap lawan transaksi (counterparty) dari pihak tertanggung atau setiap investor sebagaimana dimaksud dalam pasal 64 ayat 2 dan atau setiap terjamin sebagaimana dimaksud dalam pasal 64 ayat 3 mengikuti ketentuan sebagai berikut:
(a)   Sebesar 10% dari modal jika lawan transaksi (counterparty) dari pihak tertanggung investor, dan atau merupakan pihak terkait.
(b)   Sebesar 20% dari modal jika lawan transaksi (counterparty) dari pihak tertanggung investor, dan atau terjamin merupakan pihak terkait individual, atau
(c)    Sebesar 25% dari modal jika lawan transaksi (counterparty) dari pihak tertanggung investor, dan atau terjamin merupakan satu kelompok pihak tidak terkait, BUMN atau BUMD.

3)      Reasuransi
Menurut UU No. 40 Tahun 2014 Usaha Reasuransi adalah usaha jasa pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh perusahaan asuransi, perusahaan penjaminan, atau perusahaan reasuransi lainnya.
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 53/PMK.010/2012 pasal 22 tentang dukungan reasuransi:
(1)   Perusahaan wajib memperoleh dukungan reasuransi otomatis untuk setiap lini usaha asuransi yang dipasarkan termasuk dukungan reasuransi otomatis untuk resiko bencana.
(2)   Dukungan reasuransi otomatis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Perusahaan Asuransi Umum wajib diperoleh paling sedikit dari dua reasuradur di dalam negeri, yang salah satunya adalah Perusahaan Reasuransi.
(3)   Dukungan reasuransi otomatis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Perusahaan Asuransi Jiwa wajib diperoleh paling sedikit dari satu Perusahaan Reasuransi di dalam negeri.
(4)   Dalam hal dukungan reasuransi otomatis di dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3) tidak diperoleh, dukungan reasuransi otomatis dapat diperoleh di luar negeri.
(5)   Dukungan reasuransi otomatis dari luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dapat dilakukan setelah Perusahaan tidak memperoleh dukungan reasuransi otomatis dari seluruh Perusahaan Reasuransi dalam negeri.
(6)   Dalam hal dukungan reasuransi otomatis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari reasuradur di luar negeri, Perusahaan wajib memperoleh dukungan reasuradur luar negeri yang paling kurang memiliki peringkat yang setara dari perusahaan pemeringkat yang diakui secara internasional.
(7)   Dalam hal peringkat reasuradur di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diterbitkan oleh lebih dari satu perusahaan pemeringkat, peringkat yang digunakan adalah peringkat yang paling rendah.
(8)   Perusahaan Asuransi wajib melampirkan bukti tidak diperolehnya dukungan reasuransi otomatis didalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan bukti peringkat reasuradur diluar negeri, sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dalam laporan program reasuransi.

  4)      Investasi
Investasi adalah suatu istilah dengan beberapa pengertian yang berhubungan dengan keuangan dan ekonomi. Istilah tersebut berkaitan dengan akumulasi suatu bentuk aktiva dengan suatu harapan mendapatkan keuntungan dimasa depan. Terkadang, investasi disebut juga sebagai penanaman modal.
Keputusan Menteri Keuangan No. 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi (“Kepmenkeu 424/2003”). Dalam Pasal 14 ayat 1 Kepmenkeu 424/2003 diatur mengenai batasan atas kekayaan investasi:
(1)   Pembatasan atas kekayaan investasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 huruf a untuk Perusahaan Asuransi Dan Perusahaan Reasuransi adalah sebagai berikut:
(a)   Investasi dalam bentuk deposito berjangka dan sertifikat deposito pada setiap bank, tidak melebihi 20% dari jumlah investasi.
(b)   Investasi dalam bentuk saham yang emitennya adalah badan hukum Indonesia, untuk setiap emiten masing-masing tidak melebihi 20% dari jumlah investasi.
(c)    Investasi dalam bentuk obligasi dan Medium Term Notes yang penerbitnya adalah badan hukum Indonesia, untuk setiap penerbit masing-masing tidak melebihi 20% dari jumlah investasi.
(d)   Investasi dalam bentuk unit penyertaan reksadana, untuk setiap penerbit tidak melebihi 20% dari jumlah investasi.
(e)    Investasi dalam bentuk penyertaan langsung, seluruhnya tidak melebihi 10% dari jumlah investasi.
(f)     Investasi yang ditempatkan dalam bentuk bangunan dengan hak strata atau tanah dengan bangunan, seluruhnya tidak melebihi 20% dari jumlah investasi.
(g)   Investasi dalam bentuk pinjaman polis besarnya tidak melebihi 80% dari nilai tunai polis yang bersangkutan.
(h)   Investasi dalam bentuk kepimilikan biaya tanah dan atau bangunan, kendaraan bermotor, dan barang modal dengan skema murabahah, seluruhnya tidak melebihi 30% dari jumlah investasi dan masing-masing unit untuk setiap tanah dan atau bangunan, kendaraan bermotor, dan barang modal tidak melebihi 1% dari jumlah investasi.
(i)     Investasi dalam bentuk pembiayaan modal kerja dengan skema mudharabah seluruhnya tidak melebihi 30% dari jumlah investasi dengan ketentuan besarnya setiap pinjaman tidak melebihi 75% dari nilai jaminan terkecil diantara nilai yang ditetapkan oleh lembaga penilai yang terdaftar pada instansi yang berwenang dan nilai jual objek pajak.
5)      Cadangan teknis
Keputusan Menteri Keuangan No. 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi (“Kepmenkeu 424/2003”). Dalam Pasal 28 dan 30 Kepmenkeu 424/2003 diatur mengenai cadangan teknis Asuransi Kerugian Dan Asuransi Jiwa:
Pasal 28
“Besarnya cadangan atas premi yang belum merupakan pendapatan bagi jenis asuransi kerugian, paling sedikit sebesar:
(a)   10% dari Premi Neto untuk polis dengan masa pertanggungan tidak lebih dari satu bulan, dan
(b)   40% dari Premi Neto untuk polis dengan masa pertanggungan lebih dari satu bulan.
Pasal 29
Pembentukan cadangan klaim bagi jenis Asuransi Kerugian harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
(a)   Untuk cadangan atas klaim yang masih dalam proses penyelesaian, dihitung berdasarkan estimasi yang wajar atas klaim yang sudah terjadi dan sudah dilaporkan tetapi masih dalam proses penyelesaian, berikut biaya jasa penilai kerugian asuransi, dikurangi dengan biaya klaim yang akan menjadi bagian penanggung ulang.
(b)   Untuk cadangan atas klaim yang sudah terjadi tetapi belum dilaporkan, dihitung berdasarkan estimasi yang wajar atas klaim yang sudah terjadi tetapi belum dilaporkan dengan menggunakan metode rasio klaim atau salah satu dari metode segitiga, berikut  biaya jasa penilai kerugian asuransi, dikurangi dengan biaya klaim yang akan menjadi bagian penanggung ulang.
(c)    Penggunaan metode perhitungan cadangan klaim sebagaimana dimaksud dalam huruf b, harus dilakukan secara konsisten.
Pasal 30
(1)   Pembentukan cadangan premi asuransi jiwa termasuk anuitas, harus menggunakan metode prospektif, dengan ketentuan besarnya cadangan premi dimaksud tidak kurang dari besarnya cadangan premi yang dihitung dengan metode prospektif premi neto dengan biaya tahun pertama yang diamortisasikan 30% dari uang pertanggungan.
(2)   Dalam rangka perhitungan cadangan premi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tingkat bunga yang diterapkan tidak melebihi 9% untuk pertanggungan dalam mata uang rupiah dan tidak melebihi 5% untuk pertanggungan dalam mata uang asing.
(3)   Besarnya cadangan premi asuransi jiwa untuk produk atau bagian dan produk yang memberikan manfaat berupa akumulasi dana paling sedikit sebesar akumulasi dana tersebut ditambah dengan cadangan premi untuk resiko mortalita yang dihadapi.
(4)   Pembentukan cadangan atas premi yang belum merupakan pendapatan dan cadangan klaim untuk produk asuransi kecelakaan diri, asuransi kesehatan ekawarsa, dan asuransi kematian ekawarsa, harus berdasarkan metode sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 dan 30
6)      Ketentuan-ketentuan lain yang berhubungan dengan kesehatan keuangan

B.     Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan usaha
Pembinaan dan pengawasan terhadap usaha asuransi di Indonesia diatur dalam undang-undang nomor 2 tahun 1992 menentukan bahwa pembinaan dan pengawasan terhadap usaha perasuransian dilakukan oleh menteri keuangan. Selanjutnya, dalam pasal 11 dinyatakan pula bahwa Pembinaan dan pengawasan perusahaan perasuransian tersebut meliputi :
a.       Kesehatan keuangan
b.      Penyelenggaraan usaha, yang meliputi :
1.      Syarat-syarat polis asuransi[4]
Asuransi adalah kontrak yang dituangkan dalam bentuk polis.Sebagai suatu kontrak maka ketentuan-ketentuan yang diatur didalamnya tidak boleh merugikan kepentingan pemegang polis. Menurut ketentuan pasal 256 KUHD, setiap polis harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.       Hari dan tanggal pembuatan perjanjian
b.      Nama tertanggung
c.       Uraian yang jelas mengenai benda yang diasuransikan
d.      Jumlah yang diasuransikan
e.       Bahaya-bahaya yang ditanggung
f.       Saat bahaya mulai berjalan dan berakhir yang menjadi tanggungan penanggung
g.      Premi asuransi
h.      Umumnya segala sesuatu yang perlu diketahui oleh penanggung dan segala janji- janji khusus yang diadakan antara para pihak.[5]
2.      Tingkat premi
Untuk melindungi kepentingan masyarakat luas, penetapan premi harus tidak memberatkan tertanggung, tidak mengancam kelangsungan usaha tertanggung, dan tidak bersifat diskriminatif.
3.      Penyelesaian klaim
      Dalam rangka pembinaan dan pengawasan, peraturan pelaksanaan yang mencakup masalah penyelesaian klaim akan menetapkan batas waktu maksimum antara saat adanya kepastian mengenai jumlah klaim yang harus dibayar dengan saat pembayaran klaim tersebut oleh penanggung.



4.      Persyaratan keahlian di bidang perasuransian
Dalam persyaratan keahlian di bidang perasuransian ini diatur dalm PP Nomor 73 dalam Pasal 26 yang berbunyi :
Pasal 1 Setiap penilai kerugian asuransi dalam menjalankan usahanya harus mempergunakan keahlian berdasarkan norma profesi yang berlaku.
Pasal 2 Setiap konsultan aktuaria dalam menjalankan kegiatan usahanya harus mempergunakan keahlian berdasarkan norma profesi yang berlaku.
Pasal 3 Menteri dapat memberikan arahan bagi penilai kerugian asuransi dan konsultanaktuaria dalam menyusun norma profesi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2).[6]
5.      Hal-hal lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan usaha[7]
Pembinaan dan pengawasan seperti tersebut diatas termasuk jenis pengawasan aktif. Sedangkan pengawasan pasif dapat dilakukan melalui kewajiban-kewajiban perusahaan asuransi, yang terdiri dari :
1.      Setiap perusahaan asuransi wajib menyampaikan neraca perhitungan laba rugi perusahaan beserta penjelannya kepada menteri
2.      Setiap perusahaan asuransi wajib menyampaikan laporan operasional kepada menteri
3.      Setiap perusahaan asuransi wajib mengumumkan neraca dan perhitungan laba rugi perusahaan dalam surat kabar Indonesia
4.      Khusus untuk asuransi jiwa perusahaan asuransi wajib menyampaikan laporan investasi kepada menteri.
Dalam keputusan presiden RI nomor 40 tahun 1989 tentang usaha di bidang asuransi kerugian, diatur bahwa yang berwenang mengadakan pembinaan dan pengawasan usaha asuransi menteri keuangan. Pembinaan dan pengawasan tersebut ditujukan untuk semua perusahaan asuransi.Sedangkan asuransi syariah masih terbatas dan belum diatur secara khusus dalam undang-undang. Secara lebih teknis operasional perusahaan asuransi / perusahaan reasuransi berdasarkan prinsip syariah mengacu kepada SK Dirjen Lembaga keuangan No. 4499/LK/2000 tentang jenis, penilaian dan pembatasan Investasi perusahaan Asuransi dan perusahaan Reasuransi dengan sistem syariah dan beberapa keputusan Menteri Keuangan (KMK), yaitu KMK No.422/KMK.06/2003 tentang penyelenggaraan Usaha perusahaan Asuransi; KMK No.424/  KMK.06/2003tentang kesehatan keuangan perusahaan Asuransi dan  perusahaan Reasuransi; dan KMK No.426/KMK.06/2003tentang perizinan Usaha dan kelembagaan perusahaan Asuransi dan perusahaan Reasuransi. Di samping itu, perasuransikan syariah di Indonesia juga diatur di dalam  beberapa fatwa DSN-MUI antara lain Fatwa DSN-MUI No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang pedoman Umum Asuransi syariah. Fatwa DSN MUI No.51/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad  Mudharabah Musyarakah pada Asuransi syariah, Fatwa DSN-MUI No.52/ DSN-MUI/III/2006  tentang Akad Wakalah Bil Ujrah pada Asuransi dan Reasuransi syariah, Fatwa DSN MUI No.53/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Tabarru pada Asuransi dan Reasuransi Syariah.[8]

C.    Pembinaan dan Pengawasan Kualitas Syariah
Dalam UU No. 40 tahun 2014 tentang perasuransian Pasal 1 ayat 3 : PrinsipSyariah adalah prinsip hukum Islam dalamkegiatan perasuransian berdasarkan fatwa yangdikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangandalam penetapan fatwa di bidang syariah.
Dalam upaya pembinaan dan pengawasan kualitas Syariah suatu lembaga keuangan syariah termasuk juga Asuransi Syariah dibentuklah DSN dan DPS. Dalam menjalankan tugasnya DSN-MUI paling tidak perlu melakukan pembenahan dalam dua hal yaitu:


a.       Restrukturisasi
Struktur yang ada saat ini sudah baik, tetapi karena DSN-MUI menghadapi tugas dan tantangan yang lebih berat seperti mengurusi dan bermitra dengan lembaga-lembaga keuangan syariah yang notabene diurus oleh praktisi praktisi yang profesional.Karena itu, mitra kerjanyapun harus bisa mengimbangi secara profesional.
Badan pelaksana harian DSN perlu dipimpin oleh seorang eksekutif direktor yang diambil dari kalangan profesional, digaji yang layak, yang benar-benar bekerja dengan fulltime untuk DSN modern.
b.      Repositioning
Harapan umat, DSN-MUI bukan hanya sebagai institusi pembuat fatwa dibidang ekonomi syariah.Tapi lebih dari itu dharapkan sebagai lembaga riset yang dapat memberikan kontribusi konsep baru ekonomi syariah.Karena itu rekrutmen para pakar syariah, rekrutmen praktisi yang mumpuni menjadi sangat penting.
Sebagai institusi umat yang berfungsi untuk mengawasi dan mengembangkan ekonomi syariah, DSN-MUI harus menjaga kepercayaan yang dibeikan oleh institusi terkait dalam fungsinya sebagai pengawas syariah.Sehingga tidak terjebak dalam hal-hal yang sifatnya material.
1.      Dewan Syariah Nasional (DSN)[9]
a.       pengertian
      Dewan Syariah Nasional adalah Dewan yang dibentuk oleh MUI untuk menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan aktivitas lembaga keuangan syariah.
b.      Tugas dan Wewenang DSN[10]
Tugas
-          Menumbuhkembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya
-          Mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan
-          Mengeluarkan fatwa atas produk dan jasa keuangan syariah
Wewenang
-          Mengeluarkan fatwa yang mengikut DPS di masing-masing lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar tindakan hukum pihak terkait
-          Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan/ peraturan
-          Memberikan rekomendasi dan/ atau mencabut rekomendasi naa-nama
-          Mengundang para ahli menjelaskan sautu masalah yang diperlukan dalam pembahasan ekonomi syariah, termasuk otoritas moneter/ lembaga keuangan dalam maupun luar negeri
-          Memberikan peringatan kepada lembaga keuangan syariah untuk menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh DSN
-          Mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mengambil tindakan apabila peringatan tidak diindahkan.
2.      Dewan Pengawas Syariah (DPS)
1.      Pengertian
Dewan Pengawas Syariah adalah badan yang ada dilembaga keuangan syariah dan bertugas mengawasi pelaksanaan keputusan DSN dilembaga Keuangan Syariah tersebut.
2.      Fungsi DPS
-          DPS melakukan pengawasan secara periodik pada lembaga keuangan syariah yang berada di bawah pengawasannya.
-          DPS berkewajiban mengajukan usul-usul pengembangan lembaga keuangan syariah kepada pimpinan lembaga yang bersangkutan dan kepada DSN.
-          DPS melaporkan perkembangan produk dan operasional lembaga keuangan syariah yang diawasinya kepada DSN sekurang-kurangnya dua kali dalam satu tahun anggaran.
-          DPS merumuskan permasalahan-permasalahan yang memerlukan pembahasan-pembahasan DSN.
BAB III
PENUTUP
kesimpulan
Asuransi syariah merupakan asuransi yang didalam usahanya menggunakan akad yang diperbolehkan syariat Islam.Pada asuransi ini berada di dalam pembinaan dan pengawasan menteri Keuangan Republik Indonesia.Hal ini berdasarkan UU No. 2 tahun 1992 tentang usaha perasuransian yang menyatakan bahwa “Pembinaan dan pengawasan terhadap usaha perasuransian dilakukan oleh Menteri”. Pembinaan dan pengawasan terhadap usaha asuransi di Indonesia diatur dalam undang-undang nomor 2 tahun 1992 menentukan bahwa pembinaan dan pengawasan terhadap usaha perasuransian dilakukan oleh menteri keuangan. Selanjutnya, dalam pasal 11 dinyatakan pula bahwa Pembinaan dan pengawasan perusahaan perasuransian tersebut meliputi :
1.      Syarat-syarat polis asuransi
2.      Tingkat premi
3.      Penyelesaian klaim
4.      Persyaratan keahlian di bidang perasuransian
5.      Hal-hal lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan usaha
Dalam upaya pembinaan dan pengawasan kualitas Syariah suatu lembaga keuangan syariah termasuk juga Asuransi Syariah dibentuklah DSN dan DPS.






DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Supriyadi, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, STAIN Kudus, Kudus, 2008, hal. 192
Muhammad abdulkadir, hokum asuransi di Indonesia,pt. citra aditya bakti, bandung, 2002
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (life and general), Gema Insani Press, Jakarta, 2004
pp_73_1992
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl165/penerapan-metode-risk-based-capital-pada-perusahaan-asuransi-jiwa





[1] Ahmad Supriyadi, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, STAIN Kudus, Kudus, 2008, hal. 192
[2] http://www.e-jurnal.com/2013/12/pengertian-solvabilitas.html
[3] http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl165/penerapan-metode-risk-based-capital-pada-perusahaan-asuransi-jiwa
[4] Muhammad abdulkadir, hokum asuransi di Indonesia,pt. citra aditya bakti, bandung, 2002, hal 39
[5] Ibid, hal 59-60
[6] Pp_73_1992
[7] Ibid hal 39
[8] http://www.academia.edu/4968714/
[9]Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (life and general), Gema Insani Press, Jakarta, 2004, hlm. 543
[10]Ibid., hlm. 543-544

Tidak ada komentar:

Posting Komentar