PENGAWASAN DAN
PEMBINAAN ASURANSI SYARIAH
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
perusahaan asuransi
mempunyai peranan yang sangat luas jangkauannya yang menyangkut
kepentingan-kepentingan social maupuan kepentingan ekonomi. Pada
saat ini bahaya, kerusakan, dan kerugian adalah kenyataan yang harus dihadapi
manusia di dunia.Sehingga kemungkinan terjadi resiko dalam kehidupan khususnya
kehidupan ekonomi. Tentu saja ini membutuhkan persiapan sejumlah dana tertentu
sejak dini. Oleh karena itu, banyak orang mengambil cara dan sistem untuk dapat
menghindari resiko kerugian dan bahaya tersebut di antaranya adalah asuransi.
Asuransi merupakan sebuah sistem untuk mengurangi kehilangan finansial dengan
menyalurkan resiko kehilangan dari seseorang atau perusahaan ke lainnya.
Apabila resiko yang tak terduga itu menimpa salah seorang dari mereka yang
menjadi anggota, maka kerugian akan ditanggung bersama.
Perusahaan
asuransi di Indonesia saat ini dinilai belum begitu aktif dalam memberikan
kontribusi bagi masyarakat.Hal ini disebabkan oleh kurangnya minat dan
kepercayaan masyarakat dalam berasuransi.Kurangnya minat tersebut tak luput
dari kualitas perusahaan asuransi di Indonesia yang masih kurang professional.
B. Rumusan masalah
a.
Bagaimana pengawasan dan pembinaan kesehatan
asuransi syariah ?
b.
Bagaimana pengawasan dan pembinaan penyelenggaraan
usaha asuransi syariah ?
c.
Bagaimana pengawasan dan pembinaan kualitas
asuransi syariah ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pembinaan Dan Pengawasan Kesehatan Keuangan Terhadap
Asuransi Syariah
Asuransi syariah merupakan asuransi yang
didalam usahanya menggunakan akad yang diperbolehkan syariat Islam.Pada
asuransi ini berada di dalam pembinaan dan pengawasan menteri Keuangan Republik
Indonesia.Hal ini berdasarkan UU No. 2 tahun 1992 tentang usaha perasuransian
yang menyatakan bahwa “Pembinaan dan pengawasan terhadap usaha perasuransian
dilakukan oleh Menteri”.
Pasal 11 ayat 1 huruf a : Pembinaan dan
pengawasan terhadap usaha asuransi syariah meliputi: kesehatan keuangan bagi
Perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan
Reasuransi, yang terdiri dari:
1.
Batas tingkat solvabilitas
2.
Retensi sendiri
3.
Reasuransi
4.
Investasi
5.
Cadangan teknis
6.
Ketentuan-ketentuan lain yang berhubungan dengan
kesehatan keuangan[1]
1)
Batas tingkat solvabilitas
Solvabilitas
merupakan kemampuan suatu perusahaan untuk membayar semua utang-utang
perusahaan, baik utang jangka pendek maupun utang jangka panjang. Solvabilitas
diukur dengan perbandingan antara total aktiva dengan total
utang, ukuran tersebut mensyaratkan agar perusahaan mampu memenuhi semua
kewajibannya, baik kewajiban jangka pendek maupun kewajiban
jangka panjang. Perusahaan dapat dikatakan
dalam kondisi ideal, apabila perusahaan dapat memenuhi kewajiban jangka
pendeknya (Likuid) dan juga dapat memenuhi kewajiban jangka panjangnya
(Solvable). Analisis Solvabilitas memiliki tujuan yaitu untuk
mengetahui apakah kekayaan perusahaan mampu untuk
mendukung kegiatan perusahaan tersebut. [2]
Keputusan Menteri
Keuangan No. 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi (“Kepmenkeu 424/2003”). Dalam Pasal 2 Kepmenkeu 424/2003
diatur mengenai batasan tingkat solvabilitas:
(1) Perusahaan Asuransi
dan Perusahaan Reasuransi setiap saat wajib memenuhi tingkat solvabilitas
paling sedikit 120 % (seratus dua puluh perseratus) dari risiko kerugian
yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan kekayaan dan
kewajiban.
(2) Perusahaan Asuransi
dan Perusahaan Reasuransi yang tidak memenuhi ketentuan tingkat solvabilitas
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), namun memilki tingkat solvabilitas paling
sedikit 100% (seratus perseratus), diberikan kesempatan melakukan penyesuaian
dalam jangka waktu tertentu untuk memenuhi ketentuan tingkat solvabilitas
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).[3]
2)
Retensi sendiri
Menurut Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 140 /Pmk.010/2009 retensi sendiri adalah bagian dari
jumlah uang ganti rugi atas kerugian atau fasilitas jaminan untuk setiap risiko
yang menjadi tanggungan sendiri tanpa didukung reasuransi atau penjaminan
ulang.
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN NOMOR 161 / PMK.010/ 2010 pasal 65 ayat 1:
(1)
Batas maksimum retensi sendiri penutupan
asuransi dan penjamin untuk setiap lawan transaksi (counterparty) dari pihak
tertanggung atau setiap investor sebagaimana dimaksud dalam pasal 64 ayat 2 dan
atau setiap terjamin sebagaimana dimaksud dalam pasal 64 ayat 3 mengikuti
ketentuan sebagai berikut:
(a)
Sebesar 10% dari modal jika lawan transaksi
(counterparty) dari pihak tertanggung investor, dan atau merupakan pihak
terkait.
(b)
Sebesar 20% dari modal jika lawan transaksi
(counterparty) dari pihak tertanggung investor, dan atau terjamin merupakan
pihak terkait individual, atau
(c)
Sebesar 25% dari modal jika lawan transaksi
(counterparty) dari pihak tertanggung investor, dan atau terjamin merupakan
satu kelompok pihak tidak terkait, BUMN atau BUMD.
3)
Reasuransi
Menurut UU No. 40
Tahun 2014 Usaha Reasuransi adalah usaha jasa pertanggungan ulang terhadap
risiko yang dihadapi oleh perusahaan asuransi, perusahaan penjaminan, atau
perusahaan reasuransi lainnya.
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 53/PMK.010/2012 pasal 22 tentang dukungan reasuransi:
NOMOR 53/PMK.010/2012 pasal 22 tentang dukungan reasuransi:
(1) Perusahaan wajib
memperoleh dukungan reasuransi otomatis untuk setiap lini usaha asuransi yang
dipasarkan termasuk dukungan reasuransi otomatis untuk resiko bencana.
(2) Dukungan reasuransi
otomatis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Perusahaan Asuransi Umum wajib
diperoleh paling sedikit dari dua reasuradur di dalam negeri, yang salah
satunya adalah Perusahaan Reasuransi.
(3) Dukungan reasuransi
otomatis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Perusahaan Asuransi Jiwa wajib
diperoleh paling sedikit dari satu Perusahaan Reasuransi di dalam negeri.
(4) Dalam hal dukungan
reasuransi otomatis di dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3)
tidak diperoleh, dukungan reasuransi otomatis dapat diperoleh di luar negeri.
(5) Dukungan reasuransi
otomatis dari luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dapat
dilakukan setelah Perusahaan tidak memperoleh dukungan reasuransi otomatis dari
seluruh Perusahaan Reasuransi dalam negeri.
(6) Dalam hal dukungan
reasuransi otomatis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari
reasuradur di luar negeri, Perusahaan wajib memperoleh dukungan reasuradur luar
negeri yang paling kurang memiliki peringkat yang setara dari perusahaan
pemeringkat yang diakui secara internasional.
(7) Dalam hal peringkat
reasuradur di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diterbitkan oleh
lebih dari satu perusahaan pemeringkat, peringkat yang digunakan adalah
peringkat yang paling rendah.
(8) Perusahaan Asuransi
wajib melampirkan bukti tidak diperolehnya dukungan reasuransi otomatis didalam
negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan bukti peringkat reasuradur diluar
negeri, sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dalam laporan program reasuransi.
4)
Investasi
Investasi adalah
suatu istilah dengan beberapa pengertian yang berhubungan dengan keuangan dan ekonomi. Istilah tersebut berkaitan dengan akumulasi
suatu bentuk aktiva dengan suatu harapan mendapatkan keuntungan dimasa depan. Terkadang, investasi disebut
juga sebagai penanaman modal.
Keputusan Menteri
Keuangan No. 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi (“Kepmenkeu 424/2003”). Dalam Pasal 14 ayat 1 Kepmenkeu
424/2003 diatur mengenai batasan atas kekayaan investasi:
(1)
Pembatasan atas kekayaan investasi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 huruf a untuk Perusahaan Asuransi Dan
Perusahaan Reasuransi adalah sebagai berikut:
(a)
Investasi dalam bentuk deposito berjangka dan
sertifikat deposito pada setiap bank, tidak melebihi 20% dari jumlah investasi.
(b)
Investasi dalam bentuk saham yang emitennya
adalah badan hukum Indonesia, untuk setiap emiten masing-masing tidak melebihi
20% dari jumlah investasi.
(c)
Investasi dalam bentuk obligasi dan Medium Term
Notes yang penerbitnya adalah badan hukum Indonesia, untuk setiap penerbit
masing-masing tidak melebihi 20% dari jumlah investasi.
(d)
Investasi dalam bentuk unit penyertaan
reksadana, untuk setiap penerbit tidak melebihi 20% dari jumlah investasi.
(e)
Investasi dalam bentuk penyertaan langsung,
seluruhnya tidak melebihi 10% dari jumlah investasi.
(f)
Investasi yang ditempatkan dalam bentuk
bangunan dengan hak strata atau tanah dengan bangunan, seluruhnya tidak
melebihi 20% dari jumlah investasi.
(g)
Investasi dalam bentuk pinjaman polis
besarnya tidak melebihi 80% dari nilai tunai polis yang bersangkutan.
(h)
Investasi dalam bentuk kepimilikan biaya
tanah dan atau bangunan, kendaraan bermotor, dan barang modal dengan skema
murabahah, seluruhnya tidak melebihi 30% dari jumlah investasi dan
masing-masing unit untuk setiap tanah dan atau bangunan, kendaraan bermotor,
dan barang modal tidak melebihi 1% dari jumlah investasi.
(i)
Investasi dalam bentuk pembiayaan modal kerja
dengan skema mudharabah seluruhnya tidak melebihi 30% dari jumlah investasi
dengan ketentuan besarnya setiap pinjaman tidak melebihi 75% dari nilai jaminan
terkecil diantara nilai yang ditetapkan oleh lembaga penilai yang terdaftar
pada instansi yang berwenang dan nilai jual objek pajak.
5)
Cadangan teknis
Keputusan Menteri
Keuangan No. 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi (“Kepmenkeu 424/2003”). Dalam Pasal 28 dan 30 Kepmenkeu
424/2003 diatur mengenai cadangan teknis Asuransi Kerugian Dan Asuransi Jiwa:
Pasal 28
“Besarnya cadangan atas premi yang belum
merupakan pendapatan bagi jenis asuransi kerugian, paling sedikit sebesar:
(a)
10% dari Premi Neto untuk polis dengan masa
pertanggungan tidak lebih dari satu bulan, dan
(b)
40% dari Premi Neto untuk polis dengan masa pertanggungan
lebih dari satu bulan.
Pasal 29
Pembentukan cadangan klaim bagi jenis
Asuransi Kerugian harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
(a)
Untuk cadangan atas klaim yang masih dalam
proses penyelesaian, dihitung berdasarkan estimasi yang wajar atas klaim yang
sudah terjadi dan sudah dilaporkan tetapi masih dalam proses penyelesaian,
berikut biaya jasa penilai kerugian asuransi, dikurangi dengan biaya klaim yang
akan menjadi bagian penanggung ulang.
(b)
Untuk cadangan atas klaim yang sudah terjadi
tetapi belum dilaporkan, dihitung berdasarkan estimasi yang wajar atas klaim
yang sudah terjadi tetapi belum dilaporkan dengan menggunakan metode rasio
klaim atau salah satu dari metode segitiga, berikut biaya jasa penilai kerugian asuransi,
dikurangi dengan biaya klaim yang akan menjadi bagian penanggung ulang.
(c)
Penggunaan metode perhitungan cadangan klaim
sebagaimana dimaksud dalam huruf b, harus dilakukan secara konsisten.
Pasal 30
(1)
Pembentukan cadangan premi asuransi jiwa
termasuk anuitas, harus menggunakan metode prospektif, dengan ketentuan
besarnya cadangan premi dimaksud tidak kurang dari besarnya cadangan premi yang
dihitung dengan metode prospektif premi neto dengan biaya tahun pertama yang
diamortisasikan 30% dari uang pertanggungan.
(2)
Dalam rangka perhitungan cadangan premi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tingkat bunga yang diterapkan tidak
melebihi 9% untuk pertanggungan dalam mata uang rupiah dan tidak melebihi 5%
untuk pertanggungan dalam mata uang asing.
(3)
Besarnya cadangan premi asuransi jiwa untuk
produk atau bagian dan produk yang memberikan manfaat berupa akumulasi dana
paling sedikit sebesar akumulasi dana tersebut ditambah dengan cadangan premi
untuk resiko mortalita yang dihadapi.
(4)
Pembentukan cadangan atas premi yang belum
merupakan pendapatan dan cadangan klaim untuk produk asuransi kecelakaan diri,
asuransi kesehatan ekawarsa, dan asuransi kematian ekawarsa, harus berdasarkan
metode sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 dan 30
6)
Ketentuan-ketentuan lain yang berhubungan dengan
kesehatan keuangan
B. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan usaha
Pembinaan dan pengawasan terhadap usaha
asuransi di Indonesia diatur dalam undang-undang nomor 2 tahun 1992 menentukan
bahwa pembinaan dan pengawasan terhadap usaha perasuransian dilakukan oleh
menteri keuangan. Selanjutnya, dalam pasal 11 dinyatakan pula bahwa Pembinaan
dan pengawasan perusahaan perasuransian tersebut meliputi :
a.
Kesehatan keuangan
b.
Penyelenggaraan usaha, yang meliputi :
1. Syarat-syarat polis asuransi[4]
Asuransi adalah kontrak yang dituangkan dalam bentuk
polis.Sebagai suatu kontrak maka ketentuan-ketentuan yang diatur didalamnya
tidak boleh merugikan kepentingan pemegang polis. Menurut ketentuan pasal 256
KUHD, setiap polis harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.
Hari dan tanggal pembuatan perjanjian
b.
Nama tertanggung
c.
Uraian yang jelas mengenai benda yang diasuransikan
d.
Jumlah yang diasuransikan
e.
Bahaya-bahaya yang ditanggung
f.
Saat bahaya mulai berjalan dan berakhir yang menjadi
tanggungan penanggung
g.
Premi asuransi
h.
Umumnya segala sesuatu yang perlu diketahui oleh
penanggung dan segala janji- janji khusus yang diadakan antara para pihak.[5]
2.
Tingkat premi
Untuk melindungi kepentingan masyarakat luas,
penetapan premi harus tidak memberatkan tertanggung, tidak mengancam
kelangsungan usaha tertanggung, dan tidak bersifat diskriminatif.
3.
Penyelesaian klaim
Dalam rangka pembinaan dan
pengawasan, peraturan pelaksanaan yang mencakup masalah penyelesaian klaim akan
menetapkan batas waktu maksimum antara saat adanya kepastian mengenai jumlah
klaim yang harus dibayar dengan saat pembayaran klaim tersebut oleh penanggung.
4.
Persyaratan keahlian di bidang perasuransian
Dalam
persyaratan keahlian di bidang perasuransian ini diatur dalm PP Nomor 73 dalam Pasal
26 yang berbunyi :
Pasal 1 Setiap penilai kerugian asuransi
dalam menjalankan usahanya harus mempergunakan keahlian berdasarkan norma
profesi yang berlaku.
Pasal 2 Setiap konsultan aktuaria dalam
menjalankan kegiatan usahanya harus mempergunakan keahlian berdasarkan norma profesi
yang berlaku.
Pasal 3 Menteri dapat memberikan arahan bagi
penilai kerugian asuransi dan konsultanaktuaria dalam menyusun norma profesi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2).[6]
5.
Hal-hal lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan usaha[7]
Pembinaan dan pengawasan seperti tersebut
diatas termasuk jenis pengawasan aktif. Sedangkan pengawasan pasif dapat
dilakukan melalui kewajiban-kewajiban perusahaan asuransi, yang terdiri dari :
1.
Setiap perusahaan asuransi wajib menyampaikan neraca
perhitungan laba rugi perusahaan beserta penjelannya kepada menteri
2.
Setiap perusahaan asuransi wajib menyampaikan laporan
operasional kepada menteri
3.
Setiap perusahaan asuransi wajib mengumumkan neraca dan
perhitungan laba rugi perusahaan dalam surat kabar Indonesia
4.
Khusus untuk asuransi jiwa perusahaan asuransi wajib
menyampaikan laporan investasi kepada menteri.
Dalam keputusan presiden RI nomor 40 tahun 1989 tentang usaha di bidang
asuransi kerugian, diatur bahwa yang berwenang mengadakan pembinaan dan
pengawasan usaha asuransi menteri keuangan. Pembinaan dan pengawasan tersebut
ditujukan untuk semua perusahaan asuransi.Sedangkan asuransi syariah
masih terbatas dan belum diatur secara khusus dalam undang-undang. Secara lebih
teknis operasional perusahaan asuransi / perusahaan reasuransi berdasarkan
prinsip syariah mengacu kepada SK Dirjen Lembaga keuangan No. 4499/LK/2000 tentang jenis, penilaian dan
pembatasan Investasi perusahaan Asuransi dan perusahaan Reasuransi dengan
sistem syariah dan beberapa keputusan Menteri Keuangan (KMK), yaitu KMK No.422/KMK.06/2003 tentang penyelenggaraan
Usaha perusahaan Asuransi; KMK No.424/
KMK.06/2003tentang kesehatan keuangan perusahaan Asuransi dan perusahaan
Reasuransi; dan KMK No.426/KMK.06/2003tentang
perizinan Usaha dan kelembagaan perusahaan Asuransi dan perusahaan Reasuransi.
Di samping itu, perasuransikan syariah di Indonesia juga diatur di dalam
beberapa fatwa DSN-MUI antara lain Fatwa DSN-MUI No.21/DSN-MUI/X/2001
tentang pedoman Umum Asuransi syariah. Fatwa DSN MUI No.51/DSN-MUI/III/2006
tentang Akad Mudharabah Musyarakah pada Asuransi syariah, Fatwa DSN-MUI
No.52/ DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Wakalah Bil Ujrah pada
Asuransi dan Reasuransi syariah, Fatwa DSN MUI No.53/DSN-MUI/III/2006 tentang
Akad Tabarru pada Asuransi dan Reasuransi Syariah.[8]
C. Pembinaan dan
Pengawasan Kualitas Syariah
Dalam UU No. 40 tahun 2014 tentang perasuransian Pasal 1 ayat 3 :
PrinsipSyariah adalah prinsip hukum Islam dalamkegiatan perasuransian
berdasarkan fatwa yangdikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangandalam
penetapan fatwa di bidang syariah.
Dalam upaya pembinaan dan pengawasan kualitas Syariah suatu lembaga
keuangan syariah termasuk juga Asuransi Syariah dibentuklah DSN dan DPS. Dalam
menjalankan tugasnya DSN-MUI paling tidak perlu melakukan pembenahan dalam dua
hal yaitu:
a.
Restrukturisasi
Struktur yang ada saat ini sudah baik, tetapi karena
DSN-MUI menghadapi tugas dan tantangan yang lebih berat seperti mengurusi dan
bermitra dengan lembaga-lembaga keuangan syariah yang notabene diurus oleh
praktisi praktisi yang profesional.Karena itu, mitra kerjanyapun harus bisa
mengimbangi secara profesional.
Badan pelaksana harian DSN perlu dipimpin oleh seorang
eksekutif direktor yang diambil dari kalangan profesional, digaji yang layak,
yang benar-benar bekerja dengan fulltime untuk DSN modern.
b.
Repositioning
Harapan umat, DSN-MUI bukan hanya sebagai institusi
pembuat fatwa dibidang ekonomi syariah.Tapi lebih dari itu dharapkan sebagai
lembaga riset yang dapat memberikan kontribusi konsep baru ekonomi
syariah.Karena itu rekrutmen para pakar syariah, rekrutmen praktisi yang
mumpuni menjadi sangat penting.
Sebagai institusi umat yang berfungsi untuk mengawasi dan
mengembangkan ekonomi syariah, DSN-MUI harus menjaga kepercayaan yang dibeikan
oleh institusi terkait dalam fungsinya sebagai pengawas syariah.Sehingga tidak
terjebak dalam hal-hal yang sifatnya material.
a.
pengertian
Dewan Syariah Nasional adalah Dewan yang dibentuk oleh MUI untuk menangani
masalah-masalah yang berhubungan dengan aktivitas lembaga keuangan syariah.
Tugas
-
Menumbuhkembangkan
penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan
keuangan pada khususnya
-
Mengeluarkan fatwa atas
jenis-jenis kegiatan keuangan
-
Mengeluarkan fatwa atas
produk dan jasa keuangan syariah
Wewenang
-
Mengeluarkan fatwa yang
mengikut DPS di masing-masing lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar
tindakan hukum pihak terkait
-
Mengeluarkan fatwa yang
menjadi landasan bagi ketentuan/ peraturan
-
Memberikan rekomendasi dan/
atau mencabut rekomendasi naa-nama
-
Mengundang para ahli
menjelaskan sautu masalah yang diperlukan dalam pembahasan ekonomi syariah,
termasuk otoritas moneter/ lembaga keuangan dalam maupun luar negeri
-
Memberikan peringatan
kepada lembaga keuangan syariah untuk menghentikan penyimpangan dari fatwa yang
telah dikeluarkan oleh DSN
-
Mengusulkan kepada instansi
yang berwenang untuk mengambil tindakan apabila peringatan tidak diindahkan.
2. Dewan Pengawas
Syariah (DPS)
1.
Pengertian
Dewan
Pengawas Syariah adalah badan yang ada dilembaga keuangan syariah dan bertugas mengawasi
pelaksanaan keputusan DSN dilembaga Keuangan Syariah tersebut.
2.
Fungsi
DPS
-
DPS melakukan pengawasan
secara periodik pada lembaga keuangan syariah yang berada di bawah
pengawasannya.
-
DPS berkewajiban mengajukan usul-usul pengembangan lembaga keuangan syariah kepada
pimpinan lembaga yang bersangkutan dan kepada DSN.
-
DPS melaporkan perkembangan
produk dan operasional lembaga keuangan syariah yang diawasinya kepada DSN
sekurang-kurangnya dua kali dalam satu tahun anggaran.
-
DPS merumuskan permasalahan-permasalahan
yang memerlukan pembahasan-pembahasan DSN.
BAB
III
PENUTUP
kesimpulan
Asuransi syariah merupakan asuransi yang
didalam usahanya menggunakan akad yang diperbolehkan syariat Islam.Pada
asuransi ini berada di dalam pembinaan dan pengawasan menteri Keuangan Republik
Indonesia.Hal ini berdasarkan UU No. 2 tahun 1992 tentang usaha perasuransian
yang menyatakan bahwa “Pembinaan dan pengawasan terhadap usaha perasuransian
dilakukan oleh Menteri”. Pembinaan dan pengawasan terhadap usaha asuransi di
Indonesia diatur dalam undang-undang nomor 2 tahun 1992 menentukan bahwa
pembinaan dan pengawasan terhadap usaha perasuransian dilakukan oleh menteri
keuangan. Selanjutnya, dalam pasal 11 dinyatakan pula bahwa Pembinaan dan
pengawasan perusahaan perasuransian tersebut meliputi :
1.
Syarat-syarat polis
asuransi
2.
Tingkat premi
3.
Penyelesaian klaim
4.
Persyaratan keahlian di bidang perasuransian
5.
Hal-hal lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan usaha
Dalam upaya pembinaan dan pengawasan kualitas
Syariah suatu lembaga keuangan syariah termasuk juga Asuransi Syariah
dibentuklah DSN dan DPS.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad Supriyadi, Bank dan Lembaga Keuangan
Syariah, STAIN Kudus,
Kudus, 2008, hal. 192
Muhammad
abdulkadir, hokum asuransi di Indonesia,pt.
citra aditya bakti, bandung, 2002
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (life and general),
Gema Insani Press, Jakarta, 2004
pp_73_1992
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl165/penerapan-metode-risk-based-capital-pada-perusahaan-asuransi-jiwa
[1]
Ahmad Supriyadi, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, STAIN Kudus, Kudus,
2008, hal. 192
[2]
http://www.e-jurnal.com/2013/12/pengertian-solvabilitas.html
[3]
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl165/penerapan-metode-risk-based-capital-pada-perusahaan-asuransi-jiwa
[4]
Muhammad abdulkadir, hokum asuransi di
Indonesia,pt. citra aditya bakti, bandung, 2002, hal 39
[5]
Ibid, hal 59-60
[6]
Pp_73_1992
[8]
http://www.academia.edu/4968714/
[9]Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (life and general), Gema
Insani Press, Jakarta, 2004, hlm. 543
Tidak ada komentar:
Posting Komentar