Senin, 31 Oktober 2016

Makalah tentang Wanprestasi

BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Dahulu kala, orang melakukan perikatan dengan yang lain guna memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara barter (penukaran barang dengan barang), lalu berubah menjadi penukaran barang dengan uang barang dan kemudian berganti menjadi barang dengan uang.
Ternyata perkembangan zaman sudah merubah peradaban cara hidup manusia memenuhi kebutuhannya. Tidak hanya melakukan transaksi (akad) secara langsung, tapi juga bisa dengan kredit, dan lain-lain bahkan ada perjanjian secara tertulis sebelum diadakan perikatan pemenuhan kebutuhan tersebut.
Akibat kian hari kian banyak pula kebutuhan yang harus dipenuhi yang tidak diiringi dengan jumlah pendapatan, maka lahirlah ingkar janji dari suatu kesepakatan yang telah dibuat yang dinamakan Wanprestasi yang tentunya tidak lain merugikan pihak kreditur, baik perjanjian itu berupa sepihak (cuma-cuma) maupun timbal-balik (atas beban).

B.Rumusan Masalah
1. Apa pengertian wanprestasi?
2. Apa pengertian somasi wanprestasi?
3. Bagaimana sebab dan akibat wanprestasi?
4. Bagaimana penyelesaian sengketa wanprestasi di pengadilan?

BAB II
PEMBAHASAN
A.  PENGERTIAN
            Menurut pasal 1234 KUH Perdata yang dimaksud dengan prestasi adalah seseorang yang menyerahkan sesuatu, melakukan sesuatu dan tidak melakukan sesuatu, sebaliknya dianggap wanprestasi apabila seseorang:
1.    Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya
2.    Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan
3.    Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat
4.    Melakukan sesuatu yang menurut kontrak tidak boleh dilakukannya.[1]
Wanprestasi mempunyai hubungan erat dengan somasi. Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur. Dalam restatement of the law of contracts (Amerika Serikat) wanprestasi atau breach of contracts dibedakan menjadi dua macam, yaituTotal Breachtsdan Partial Breachts. Total breachtsartinya pelaksanaan kontrak tidak mungkin dilaksanakan, sedangkan Partial breachtsartinya pelaksanaan perjanjian masih mungkin untuk dilaksanakan.
Seorang debitur baru  dikatakan wanprestasi apabila ia telah diberikan somasi oleh kreditur atau Juru Sita. Somasi itu minimal telah dilakukan sebanyak tiga kali oleh kreditur atau Juru sita. Apabila somasi itu tidak diindahkannya, maka kreditur berhak membawa persoalan itu ke pengadilan. Dan pengadilanlah yang akan memutuskan, apakah debitur wanprestasi atau tidak.[2]
B.  Somasi Wanprestasi
Somasi adalah pemberitahuan atau pernyataan dari kreditur kepada debitur yang berisi ketentuan bahwa kreditur menghendaki pemenuhan prestasi seketika atau dalam jangka waktu seperti yang ditentukan dalam pemberitahuan itu dengan kata lain somasi adalah peringatan agar debitur melaksanakan kewajibannya sesuai dengan tegoran kelalaian yang telah disampaikan kreditur kepadanya.
Menurut pasal 1238 KUH Perdata yang menyatakan bahwa:
Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.
Dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa debitur dinyatakan wanprestasi apabila sudah ada somasi (in gebreke stelling).
Adapun bentuk-bentuk somasi menurut pasal 1238 KUH Perdata adalah:[3]
1.    Surat perintah
Surat perintah tersebut berasal dari hakim yang biasanya berbentuk penetapan. Dengan surat penetapan ini juru sita memberitahukan secara lisan kepada debitur kapan selambat-lambatnya dia harus berprestasi. Hal ini biasa disebut “exploit juru Sita”
2.    Akta sejenis
Akta ini dapat berupa akta dibawah tangan maupun akta notaris.
3.    Tersimpul dalam perikatan itu sendiri
Maksudnya sejak pembuatan perjanjian, kreditur sudah menentukan saat adanya wanprestasi.
Dalam perkembangannya, suatu somasi atau teguran terhadap debitur yang melalaikan kewajibannya dapat dilakukan secara lisan akan tetapi untuk mempermudah pembuktian dihadapan hakim apabila masalah tersebut berlanjut ke pengadilan maka sebaiknya diberikan peringatan secara tertulis.
Ada lima macam peristiwa yang tidak mensayaratkan pernyataan lalai yaitu:
1.    Debitur menolak pemenuhan
Seorang kreditur tidak perlu mengajukan somasi apabila debitur menolak pemenuhan prestasinya sehingga kreditur boleh berpendirian bahwa dalam sikap penolakan demikian suatu somasi tidak akan menimbulkansuatu perubahan.
2.    Debitur mengakui kelalaiannya
Pengakuan demikian dapat terjadi secara tegas akan tetapi juga secara implisit (diam-diam), misalnya dengan menawarkan ganti rugi.
3.    Pemenuhan prestasi tidak mungkin dilakukan
Debitur lalai tanpa adanya somasi, apabila prestasi tidak mungkin dilakukan, misalnya karena debitur kehilangan yang harus diserahkan atau barang tersebut musnah.
4.    Pemenuhan tidak berarti lagi
Tidak perlukannya somasi apabila kewajiban debitur untuk memberikan atau melakukan, hanya dapat diberikan atau dilakukan dalam batas waktu tertentu yang dibiarkan lampau.
5.    Debitur melakukan prestasi tidak sebagaimana mestinya.
Kelima cara tersebut tidak perlu dilakukan somasi oleh kreditur kepada debitur, debitur dapat langsung dinyatakan wanprestasi.[4]

C.  Sebab dan Akibat Wanprestasi
Wanprestasi terjadi disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
1.    Kesengajaan atau kelalaian debitur itu sendiri
Unsur kesengajaan ini, timbul dari pihak itu sendiri. Jika ditinjau dari wujud-wujud wanprestasi, maka faktornya adalah:
a.       Tidak memiliki itikad baik, sehingga prestasi itu tidak dilakukan sama sekali;
b.      Faktor keadaan yang bersifat general;
c.       Tidak disiplin sehingga melakukan prestasi tersebut ketika sudah kedaluwarsa;
d.      Menyepelekan perjanjian.
2.    Adanya keadaan memaksa (overmacht)
Biasanya, overmacht terjadi karena unsur ketidaksengajaan yang sifatnya tidak diduga. Ketentuan ini memberikan kelonggaran kepada debitur untuk tidak melakukan penggantian biaya, kerugian dan bunga kepada kreditur oleh karena suatu keadaan yang berada d luar kekuasaaannya. Ada tiga hal yang menyebabkan debitur tidak melakukan penggantian biaya, kerugian dan bunga, yaitu:
a.       Adanya suatu hal yang tak terduga
b.      Terjadinya secara kewbetulan, dan atau
c.       Keadaan memaksa.[5]
      Ada empat akibat adanya wanprestasi, yaitu sebagai berikut:
1.    Perikatan tetap ada
2.    Debitur harus membayar ganti rugi kepada kreditur
3.    Beban risiko beralih untuk kerugian debitur jika halangan itu timbul setelah debitur wanprestasi, kecuali bila ada kesenjangan atau kesalahan besar dari pihak kreditur. Oleh karena itu, debitur tidak dibenarkan untuk berpegang pada keadaan memaksa.
4.    Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat membebaskan diri dari kewajibannya memberikan kontra prestasi dengan menggunakan pasal 1266 KUH Perdata.[6]
Akibat wanprestasi yang dilakukan debitur, dapat menimbulkan kerugian bagi kreditur, sanksi atau akibat-akibat hukum bagi debitur yang wanprestasi ada 3 macam, yaitu:
1.    Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur (ganti rugi)
ganti rugi karena wanprestasi adalah suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada debitur yang tidak memenuhi isi perjanjian yang telah dibuat antara kreditur dengan debitur. Momentum timbulnya ganti rugi ini pada saaat telah dilakukan somasi. Ganti kerugian yang dapat dituntut oleh kreditur kepada debitur adalah sebagai berikut:
a.       Kerugian yang telah dideritanya, yaitu berupa penggantian biaya-biaya dan kerugian
b.      Keuntungan yang sedanya akan diperoleh, ini ditujukan kepada bunga-bunga.[7]
2.    Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian
Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan untuk membawa kedua belak pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Kalau satu pihak sudah menerima sesuatu dari pihak yang lain, baik uang maupun barang maka harus dikembalikan sehingga perjanjian itu ditiadakan.
3.    Peralihan risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jka terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan pasal 1237 KUH Perdata. Oleh karena itu dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu maka barang itu semenjak perikatan dilahirkan adalah atas tanggungan  (risiko) si berpiutang (pihak yang menerima barang).[8]
D.Penyelesaian Sengketa Wanprestasi di Pengadilan
Karena wanprestasi mempunyai akibat-akibat yang begitu penting, maka harus ditetapkan lebih dahulu apakah si berutang melakukan wanprestasi atau lalai, dan kalau hal itu disangkal olehnya, maka harus dibuktikan di muka hakim. Pengajuan ke pengadilan tentang wanprestasi dimulai dengan adanya somasi yang dilakukan oleh seorang jurusita dari pengadilan, yang membuat proses verbal tentang pekerjaannya itu, atau juga cukup dengan surat tercatat atau surat kawat, asal saja jangan sampai dengan mudah dimungkiri oleh si berutang.
Kadang-kadang juga tidak mudah untuk mengatakan bahwa seseorang lalai atau alpa, karena seringkali juga tidak dijanjikan dengan tepat kapan sesuatu pihak diwajibkan melakukan wanprestasi yang dijanjikan.
Di pengadilan, kreditur harus sebisa mungkin membuktikan bahwa lawannya  (debitur) tersebut telah melakukan wanprestasi, bukan overmacht. Begitu pula dengan debitur, debitur harus meyakinkan hakim jika kesalahan bukan terletak padanya dengan pembelaan seperti berikut:
1.    Overmacht;
2.    Menyatakan bahwa kreditur telah melepaskan haknya; dan
3.    Kelalaian kreditur.
Jika debitur tidak terbukti melakukan wanprestasi, maka kreditur tidak bisa menuntut apa-apa dari debitur tersebut.Tetapi jika yang diucapkan kreditur di muka pengadilan terbukti, maka kreditur dapat menuntut:
1.    Menuntut hak pemenuhan perjanjian;
2. Menuntut hak pemenuhan perjanjian berikut dengan ganti rugi sesuai Pasal 1246 KUHPerdata yang menyatakan, “biaya, ganti rugi dan bunga, yang boleh dituntut kreditur, terdiri atas kerugian yang telah dideritanya dan keuntungan yang sedianya dapat diperolehnya”. Berdasarkan pasal 1246 KUHPerdata tersebut, dalam wanprestasi, penghitungan ganti rugi harus dapat diatur berdasarkan jenis dan jumlahnya secara rinci seperti kerugian kreditur, keuntungan yang akan diperoleh sekiranya perjanjian tesebut dipenuhi dan ganti rugi bunga (interst).[9]
a.    Ganti biaya yaitu mengganti pengeluranan yang dikeluarkan kreditur;
b. Ganti rugi yaitu mengganti barang-barang rusak; dan
c. Ganti bunga yaitu mengganti keuntungan yang seharusnya didapat.
3. Pembatalan perjanjian
Dalam hal pembatalan perjanjian, banyak pendapat yang mengemukakan bahwa pembatalan ini dilakukan oleh hakim dengan mengeluarkan putusan yang bersifat declaratoir. Hakim juga mempunyai suatu kekuasaan yang bernama “discretionair”, artinya ia berwenang untuk menilai wanprestasi debitur. Apabila kelalaian itu dianggapnya terlalu kecil, hakim berwenang untuk menolak pembatalan perjanjian meski ganti rugi yang diminta harus dituluskan.
4.    Pembatalan perjanjian disertai ganti rugi;
5.    Meminta/ menuntut ganti rugi saja.
Dan hak-hak yang dituntut oleh kreditur dicantumkan pada bagian petitum dalam surat gugatan.Jika debitur tidak bisa membuktikan bahwa ia tidak melakukan wanprestasi tersebut, maka biaya perkara seluruhnya dibayar oleh debitur.[10]

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Wanprestasi mempunyai hubungan erat dengan somasi. Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur. Somasi adalah pemberitahuan atau pernyataan dari kreditur kepada debitur yang berisi ketentuan bahwa kreditur menghendaki pemenuhan prestasi seketika atau dalam jangka waktu seperti yang ditentukan dalam pemberitahuan itu dengan kata lain somasi adalah peringatan agar debitur melaksanakan kewajibannya sesuai dengan tegoran kelalaian yang telah disampaikan kreditur kepadanya.
Sebab wanprestasi ada dua, yaitu kelalaian atau kesengajaan dan keadaan memaksa. Ada empat akibat adanya wanprestasi, yaitu sebagai berikut:
·      Perikatan tetap ada
·      Debitur harus membayar ganti rugi kepada kreditur
·      Beban risiko beralih untuk kerugian debitur
·      Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat membebaskan diri dari kewajibannya memberikan kontra prestasi dengan menggunakan pasal 1266 KUH Perdata
Sanksi atau akibat-akibat hukum bagi debitur yang wanprestasi ada 3 macam, yaitu:
·      Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur (ganti rugi)
·      Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian
·      Peralihan risiko.


DAFTAR PUSTAKA
Abdul R Saliman, Hermansya dan Ahmad Jalis, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan, Kencana, Jakarta, 2005
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simangunsong, Hukum Dalam Ekonomi, PT Grasindo, Jakarta, 2007
Pramono, Nindyo,Hukum Komersi,. Cetakan Pertama, Pusat Penerbitan UT, Jakarta, 2003
Salim H.S, Hukum Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2003


LAMPIRAN CONTOH WANPRESTASI

Sebut saja A, meminjamkan uangnya kepada B dengan bunga yang disetujui kedua belah pihak sebesar 13 %. Perjanjian tersebut dilakukan dengan lisan (tanpa perjanjian tertulis), A berasumsi bahwa perjanjian lisan ini dapat ditepati oleh B (karena A percaya sepenuhnya kepada B, dikarenakan B masih ada hubungan keluarga dengan A; B adalah istri dari sepupu kandung A)
Hubungan Pinjam meminjam berlangsung sampai mencapai angka rupiah yang cukup besar (sekitar 60 jutaan), A terus meminjamkan karena tergiur oleh bunga yang disepakatinya. Sampai pada batas waktu tertentu A sadar akan kondisi keuangannya, A lalu menagih pinjaman uang tersebut kepada B. B berjanji akan membayar pada tanggal yang sudah ditentukan, tetapi selalu ada alasan (seperti dirampok, kecopetan dll).
Suatu saat A menagih kembali kepada B, B dengan yakin menjawab bahwa sebagian uang tersebut sudah dikirim via ATM BCA ke no. rek A (bukti transfer ATM BCA dikirim lewat Fax ke kantor A), tetapi setelah diperiksa (lewat print out) uang tersebut tidak ada, menurut petugas bank bukti transfer ini tidak benar atau palsu. A dan keluarga (saudara-saudaranya) datang ke rumah B, kesimpulan yang didapat dari kunjungan tersebut B bersedia membuat pernyataan yang isinya menyatakan bahwa B mengakui memiliki hutang kepada A sebesar sekian juta rupiah dan akan dilunasi pada tanggal X bulan Y tahun 2014.
Apabila B tidak melunasi pada tanggal tersebut maka persoalan akan diselesaikan melalui jalur hukum. Surat pernyataan tersebut ditandatangani pula oleh suaminya B sebagai penanggungjawab. Pada tanggal yang sudah ditentukan B hanya membayar kurang lebih 25 % dengan alasan 75 %-nya sudah dibayar cash kepada A pada waktu lalu yang dibawa sendiri oleh B ke kantor A. Menurut pengakuan A hal tersebut tidak pernah terjadi, sampai A pun berani diangkat sumpah. Sampai saat ini B selalu mencari-cari kesalahan A, dan pernah pada suatu hari B telepon ke kantor A dan mengaku dari Polda untuk menangkap A.
Transaksi yang melandasi semua kejadian tersebut di atas adalah hubungan pinjam-meminjam uang (hutang-piutang). Dokumen yang menyatakan adanya hubungan tersebut adalah surat pernyataan yang dikeluarkan oleh B dengan persetujuan dari suaminya. Persoalan hukum timbul terletak pada pelaksanaan kewajiban pembayaran atau pelunasan jumlah-jumlah hutang yang wajib dibayar oleh B kepada A berdasarkan surat pernyataan tersebut, dimana B hanya membayar 25% dan sisanya 75% dia menganggap telah membayar kepada A dan sebaliknya A merasa tidak pernah menerima sisa jumlah tersebut.
Kemungkinan untuk berdamai dengan B rasanya sudah tertutup, mengingat B kelihatan sudah tidak memiliki itikad baik untuk melunasi utangnya. Alternatif yang bisa ditempuh oleh A adalah mengajukan gugatan secara perdata atas dasar wanprestasi atau perbuatan melawan hukum.
Apabila A akan mengajukan gugatan atas dasar wanprestasi maka A harus bisa membuktikan adanya isi perjanjian yang dilanggar oleh B. Perjanjian disini tidak harus tertulis, bisa saja perjanjian lisan. Yang penting A bisa menyiapkan bukti-bukti yang menunjukkan adanya perjanjian atau konsensus antara A dan B.
Bukti-bukti yang disiapkan oleh A juga tidak harus tertulis, karena dalam hukum acara perdata ada 5 macam, yaitu bukti surat, bukti saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Namun bukti yang paling kuat adalah bukti surat. Alangkah baiknya kalau bukti pengakuan utang yang tertulis dan bukti tidak adanya transfer uang ada pada A sehingga bisa disiapkan untuk persidangan. Kalaupun ternyata A tidak memilki bukti-bukti tertulis, sebaiknya disiapkan bukti-bukti yang lain, misalnya bukti saksi.
Kalau A bisa membuktikan telah terjadi perjanjian dan adanya isi perjanjian yang dilanggar, maka A sudah bisa mengajukan gugatan atas dasar wanprestasi. Yang perlu disiapkan juga adalah bukti bahwa sudah ada upaya dari A untuk meminta kepada B agar memenuhi perjanjian (lihat pasal 1243 KUHPerdata). A bisa meminta kepada pengadilan agar mengeluarkan peringatan (anmaning) terhadap B untuk memenuhi isi perjanjian. Bisa juga si B langsung mengirimkan peringatan sendiri tanpa melalui pengadilan dalam bentuk somasi.
Di gugatan tersebut A bisa menuntut B agar membayar ganti rugi ditambah bunga dan keuntungan yang sekiranya didapat seandainya B melaksanakan perjanjian. Kalau bunga tidak diperjanjikan secara tertulis, A kemungkinan hanya mendapat 6% (bunga menurut undang-undang).
A juga bisa mengajukan gugatan atas dasar perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh B. Kalau B mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum, A harus bisa membuktikan adanya perbuatan B yang tidak sesuai dengan kaedah hukum (baik tertulis maupun tidak tertulis), kaedah sopan santun dan kaedah kesusilaan. Perbuatan B yang meminjam uang kepada A tanpa mau mengembalikan jelas merupakan perbuatan yang melanggar kaedah hukum, sopan santun dan kesusilaan.
Kalau A mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum, A juga harus dapat membuktikan adanya kerugian yang A terima. Besarnya ganti rugi nanti ditentukan oleh Hakim.
R. Subekti mengemukakan bahwa “menurut pendapat yang paling banyak dianut, bukannya kelalaian debitur, tetapi putusan hakimlah yang membatalkan perjanjian, sehingga putusan hakim itu bersifat constitutive dan bukannya declanatoir.
  1. Keadaan Memaksa (Overmacht)
Overmacht adalah keadaan dimana debitur terhalang dalam memenuhi prestasinya karena suatu keadaan yang tak terduga lebih dahulu dan tidak dapat dipertanggungkan kepadanya, debitur dibebaskan untuk membayar ganti rugi dan bunga.
Akibat overmacht, yaitu:
  1. Kreditur tidak dapat meminta pemenuhan prestasi;
  2. Debitur tidak dapat lagi dinyatakan lalai;
  3. Risiko tidak beralih kepada debitur.
  1. 3. Risiko
Risiko adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak. Misalkan seseorang menjanjikan akan memberikan seekor kuda (schenking) dan kuda ini sebelum diserahkan mati karena disambar petir. Dari contoh peristiwa tersebut dapat  dilihat bahwa persoalan risiko itu berpokok pangkal pada terjadinya perjanjian. Dengan kata lain berpokok pangkal pada kejadian yang dalam hukum perjanjian dinamakan keadaan memaksa. Persoalan risiko adalah buntut dari wanprestasi.
  1. Hapusnya Perjanjian
Hal-hal yang dapat menghapuskan perjanjian berdasarkan KUHPerdata ada 10 macam. 8 hal diantaranya diatur dalam buku III Bab IV KUHPerdata, satu hal dalam bab I dan satu hal lagi diatur dalam buku IV Bab I. 10 hal yang dapat menghapuskan perikatan tersebut antara lain:
  1. Pembayaran
Yang dimaksud dengan pembayaran adalah setiap pelunasan perikatan seperti penyerahan barang oleh penjual, pemenuhan persetujuan kerja oleh buruh, dan lain-lain.
Pada umumnya, dengan dilakukannya pembayaran, perikatan menjadi hapus, tetepi ada kalanya bahwa perikatan tetap ada dan pihak ketiga menggantikan kedudukan kreditur semula (subrograsi)
  1. Penawaran pembayaran diikuti penitipan
Undang-undang memberikan kemungkinan kepada debitur yang tidak dapat melunasi utangnya karena tidak mendapatkan bantuan kreditur untuk membayar utangnya dengan jalan penawaran pembayaran diikuti dengan penitipan.
  1. Pembaruan Utang (Novasi)
Novasi adalah suatu persetujuan yang menyebabkan hapusnya perikatan dan pada saat yang bersamaan timbul perikatan lainnya yang ditempatkan sebagai pengganti perikatan semula.
Ada tiga macam novasi, yaitu:
1)        Novasi objektif, dimana perikatan yang telah ada diganti dengan perikatan lain
2)        Novasi subjektif pasif, dimana debiturnya diganti oleh debitur lain
3)        Novasi subjektif aktif, dimana krediturnya diganti oleh kreditur lain.
  1. Perjumpaan Utang (Kompensasi)
Kompensasi merupakan salah satu cara hapusnya perikatan yang disebabkan oleh keadaan, dimana dua orang masing-masing merupakan debitur satu dengan lainnya.
  1. Pencampuran Utang
Percampuran utang dapat terjadi karena kedudukan kreditur dan debitur bersatu dalam diri satu orang misalnya kreditur meninggal dan debitur merupakan satu-satunya ahli waris.
  1. Pembebasan Utang
Pembebasan utang adalah perbuatan hukum dimana dengan itu kreditur melepaskan haknya untuk menagih piutangnya dari debitur.
  1. Musnahnya Barang yang Berutang
Menurut Pasal 1444 KUHPerdata:
“Jika suatu barang tertentu yang dimaksudkan dalam perjanjian hapus atau karena suatu larangan yang dikeluarkan oleh pemerintah, tidak boleh diperdagangkan atau hilang hingga tidak terang keadaannya, maka perikatan menjadi hapus, asal saja hapus atau hilangnya barang itu sama sekali di luar kesalahan si berhutang dan sebelumnya ia lalai menyerahkannya.”
Bahkan meskipun ia lalai menyerahkan barang itu, ia pun akan bebas dari perikatan apabila ia dapat membuktikan bahwa hapusnya barang itu disebabkan oleh suatu kejadian di luar kekuasaannya. Barang tersebut juga akan menemui nasib yang sama seandainya barang itu sudah berada di tangannya si berpiutang.
  1. Kebatalan dan Pembatalan Perikatan
Bidang kebatalan dapat dibagi dalam 2 (dua) hal pokok, yaitu:
1)        Batal demi hukum
2)        Dapat dibatalkan
Batal demi hukum terjadi bila kebatalannya didasarkan undang-undang, sedangkan dapat dibatalkan baru mempunyai akibat setelah ada putusan hakim yang membatalkan perbuatan tersebut. Sebelum ada putusan, perbuatan hukum yang bersangkutan tetap berlaku.
  1. Syarat Membatalkan
Yang dimaksud syarat membatalkan disini adalah ketentuan isi perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak, syarat mana jika dipenuhi mengakibatkan ikatan itu batal, sehingga perikatan itu menjadi hapus.
  1. Daluwarsa
Daluwarsa adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syaratnya yang ditentukan oleh undang-undang.
Daluwarsa selain sudah ditentukan undang-undang juga dapat diperjanjikan oleh para pihak dalam perjanjian para pihak dapat memperjanjikan lamanya jangka waktu daluwarsa dengan syarat harus lebih pendek dari yang ditetapkan oleh undang-undang.
Ada dua macam daluwarsa, yaitu:
1)        Lampau waktu untuk memperoleh hak milik atas suatu barang
2)        Lampau waktu untuk dibebaskan dari suatu perikatan.
1)        Mengakhiri sewa atas alasan mau dipakai sendiri barang yang disewakan, kecuali hal ini telah ditentukan lebih dulu dalam perjanjian.
2)        Pasal 1575 KUHPerdata : perjanjian sewa-menyewa tidak hapus atau tidak berhenti dengan meninggalnya salah satu pihak. Meninggalnya pihak yang menyewakan tidak menyebabkan hapusnya perjanjian sewa-menyewa. Perjanjian dapat dilanjutkan oleh masing-masing ahli waris.
3)        Pasal 1585 KUHPerdata : sewa-menyewa perabot rumah tangga yang akan dipakai pada sebuah rumah atau pada sebuah toko, bengkel maupun dalam suatu ruangan, harus dianggap berlaku untuk jangka waktu yang sesuai lamanya dengan perjanjian sewa-menyewa atas rumah, toko, bengkel dan ruangan itu sendiri.
4)        Pasal 1586 KUHPerdata : sewa-menyewa kamar beserta perabotnya jika sewanya dihitung pertahun, perbulan, perminggu atau perhari, harus dianggap berjalan untuk satu tahun, satu bulan, satu minggu dan satu hari. Jika tidak nyata harga sewa apakah untuk tahunan, bulanan, mingguan atau harian harga sewa harus dipandang sudah diperjanjikan sesuai dengan kelaziman setempat.





[1]Abdul R Saliman, Hermansya, dan Ahmad Jalis, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan, Kencana, Jakarta, 2005, hlm.44.
[2]Salim H.S, Hukum Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hlm.98-99
[3] Nindyo, Pramono, Hukum Komersil, 2003, Pusat Penerbitan UT, Jakarta, hlm.22
[4]Opcit, Salim S.H, hlm.98
[5]Ibid, Salim S.H, hlm101
[6]Opcit, Abdul R Saliman, Hermansya, dan Ahmad Jalis hlm.99
[7]Opcit, Salim S.H, hlm.100-101
[8]Elsi Kartika Sari dan Advendi Simangunsong, Hukum Dalam Ekonomi, 2007, PT. Grasindo, Jakarta, hlm.34

Tidak ada komentar:

Posting Komentar