BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tanah
sebagai bagian dari bumi yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, disamping
memenuhi kebutuhan dasar untuk papan dan lahan usaha, juga merupakan alat
investasi yang sanagat menguntungkan. Disamping itu, bangunan juga memberi
manfaat ekonomi bagi pemiliknya. Oleh karena itu mereka yang memperoleh hak
atas tanah dan bangunan, wajar menyerahkan sebagian nilai ekonomi yang
diperolehnya kepada Negara melalui pembayaran pajak, yang dalam hal ini adalah
Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Pemungutan
BPHTP tetap memperhatikan asas keadilan bagi masyarakat dengan golongan ekonomi
lemah dan berpenghasilan rendah melalui nilai perolehan hak atas tanah dan
bangunan yang tidak dikenakan pajak.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian BPHTB?
2. Bagaimana dasar hukum BPHTB?
3. Apa saja objek pajak dan yang tidak
termasuk objek pajak?
4. Apa yang dimaksud subjek pajak?
5. Bagaimana dasar pengenaan pajak, nialai
perolehan objek pajak tidak kena pajak (NPOPTKP) dan tariff pajak?
6. Bagaimana cara menghitung BPHTB?
7. Bagaimana saat terutangnya pajak, tempat
terutangnya pajak dan tempat pembayaran?
8. Apa yang dimaksud SKBKB,SKBKBT, dan STB?
9. Bagaimana tata cara pembayaran pajak?
10. Bagaimana permohonan keberatan, banding,
pengurangan dan pengampilan BPHTB?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
1. Bea
Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB), adalah pajak yang dikenakan atas perolehan
hak atas tanah dan bangunan. Dalam pembahasan ini, BPHTB selanjutnya disebut
pajak.
2. perolehan
hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang
mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi
atau badan.
3. Hak atas
tanah dan atau bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak perolehan, beserta bangunan
diatasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
peraturan dasar pokok-pokok Agraria, Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang
rumah susun, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku lainnya.[1]
B. Dasar Hukum
Dasar hukum bea perolehan hak atas tanah dan bangunan
adalah:
1. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang bea perolehan hak
atas tanah dan bangunan. Undang-undang ini menggantikan ordonasi bea balik nama
staatsblad 1924 Nomor 291.
2. Peraturan pemerintah No. 111 Thun 2000
tentang pengenaan bphtb karena waris dan hibah.
3. Peraturan pemerintah No. 112 Tahun 2000
tentang pengenaan BPHTB karena pemberian hak pengelolaan.
4. Peraturan pemerintah No. 113 Tahun 2000
tentang penentuan besarnya NPOPTKP BPHTB.
C. Objek Pajak Dan Yang Tidak Termasuk Objek
Pajak
1. Objek pajak
a. Pemindahan hak karena:
Jual beli,Tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris,
pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang
mengakibatkan peralihan, penunjukan pembelian dalam lelang, pelaksanaan putusan
hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, penggabungan usaha, peleburan usaha,
pemekaran usaha, dan hadiah.
b. Pemberian hak baru karena:
Kelanjutan pelepasan hak dan diluar pelepasan hak.
2. Tidak termasuk objek pajak
a. Perwakilan diplomatic, konsulat berdasarkan
asas perlakuan timbal balik,
b. Negara untuk penyelenggaraan pemerintah dan
atau pelaksanaan pembangunan guna kepentinagn umum.
c. Badan atau perwakilan organisasi
internasional yang ditetapkan dengan keputusan menteri dengan syarat tidak
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain diluar fungsi dan tugas badan
usaha atau perwakilan organisasi tersebut.
d. Orang pribadi atau badan karena konversi
hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama.
e. Orang pribadi atau badan karena wakaf.
f. Orang pribadi atau badan yang digunakan
untuk kepentingan ibadah.[2]
D. Subjek Pajak
Yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau
badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan.[3]
E. Dasar Pengenaan Pajak, Nialai Perolehan
Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) Dan Tariff Pajak.
1. Dasar pengenaan pajak
Yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah nilai
perolehan objek pajak (NPOP) sebagai berikut:
a. Harga transaksi dalam hal: jual beli.
b. Nilai pasar objek pajak dalam hal:
Tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan
dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan
peralihan hak, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai
kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari
pelaksanaan hak, pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasan hak,
penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah.
c. Harga transaksi yang tercantum dalam
risalah lelang dalam hal: penunjukanpembelian dalam lelang.
d. Nilai jual objek pajak pajak bumi dan
bangunan ( NJOP PBB), apabila besarnya NPOP sebagaimana dimaksud dalam poin a
dan b tidak diketahui atau NPOP lebih rendah daripada NJOP PBB.[4]
2. Nialai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena
Pajak (NPOPTKP)
Besarnya nilai NPOPTKP ditetapkan secara ragional
paling banyak Rp 60.000.000, kecuali dalam perolehan hak karena waris, atau
hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat keatas atau satu derajat
kebawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, NPOPTKP pajak
ditetapkan secara ragional sebanyak Rp 300.000.000. besarnya NPOPTKP dapat diubah dengan peraturan pemerintah
dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan
harga umum tanah atau bangunan.[5]
3. Tarif Pajak
Banyaknya tarif pajak ditetapkan sebesar 5%.
F. Cara Menghitung BPHTB
BPHTB = nilai perolehan objek pajak kena pajak x
tariff
= (NPOP – NPOPTKP) x 5%
Contoh: tuan bidi membeli tanah dan
bangunan dengan nilai perolehan objek pajak sebesar Rp 70.000.000, sedangkan nilai
perolehan objek pajak tidak kena pajak yang berlaku di Kabupaten /Kota tersebut
Rp 60.000.000.
Penyelesaian: NPOP 70.000.000
NPOPTKP 60.000.000
10.000.000
BPHTP yang terutang = 10.000.000 x 5% = Rp
500.000
G. Saat Terutangnya pajak,Tempat Terutangnya
Pajak Dan Tempat Pembayaran.
1. Saat Terutang
a. Sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinyaa
akta untuk:
Jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam
perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan,
penggabungan usaha, peleburan usaha, pemakaran usaha, dan hadiah.
b. Sejak tanggal penunjukan pemenang lelang,
untuk: lelang.
c. Sejak tanggalan putusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, untuk:
putusan hukum.
d. Sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan
peralihan haknya ke kantor pertanahan, untuk: hibah, wasiat dn waris.
e. Sejak tanggal ditandatanganinya dan
diterbitkannya surat keputusan pemberian hak, untuk:
Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari
pelepasan hak, pemberian hak baru di luar pelepasan hak.[6]
2. Tempat Pajak Terutang
Tempat pajak terutang adalah di wilayah:
Kabupaten, Kota, atau Propinsi.
Tempat tersebut meliputi letak tanah dan
atau bangunan.
3. Tempat Pembayaran
Pajak yang terutang dibayar ke Kas Negara
melalui:
a. Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank
Badan Usaha Milik Daerah
b. Kantor pos dan giro.
c. Tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh
menteri keuangan.
H. SKBKB,SKBKBT, dan STB
1. Surat ketetapan bea perolehan hak atas
tanah dan bangunan kurang bayar (SKBKB)
SKBKB adalah surat ketetapan yang
menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang, jumlah kekurangan pembayaran
pokok pajak, besarnya sanksi administrasi dan jumlah yang masih harus dibayar.
Penerbitan SKBKB, diterbitkan apabila
berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang
terutang kuranag dibayar. SKBKB dapat diterbitkan oleh Direktur Jendral Pajak
dalam jangka waktu 5 tahun sesudah saat terutangnya pajak.
Sanksi SKBKB, jumlah kekurangan pajak yang
terutang dalam SKBKB ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar
2% sebualan ( mksimal 24 bulan) dihitung mulai saat terutangnya pajak sampai
dengan diterbitkannya SKBKB.
2. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas
Tanah Dan Bangunan Kurang Bayar tambahan (SKBKBT).
SKBKBT adalah surat ketetapan yang
menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan . Penerbitan SKBKBT
diterbitkan apabila ditemukan dana baru dan atau data yang semula belum
terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah
diterbitkannya SKBKB. SKBKBT dapat diterbitkan oleh Direktur Jendral Pajak
dalam jangka waktu 5 tahun sesudah saat terutangnya pajak.
Sanksi
SKBKBT, jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKBKBT ditambah dengan
sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dari jumlah kekurangan pajak
tersebut.
3. Surat Tgihan Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (STB)
STB adaah surat untuk melakukan tagihan
pajak dan atau sanksi administrasi berupa bungan dan atau denda.Penerbitkan STB
diterbitkan apabila:
a) Pajak yang terutang tidak atau kurang
dibayar,
b) Dari hasil pemeriksaan Surat Setoran Bea
Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (SSB) terdapat kekurangan pembayaran
pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung,
c) Wajib pajak dikenakan sanksi administrasi
berupa bunga dan atau denda.
Sanksi
STB, jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang dibayar dalam STB
sebagaimana dimaksud dalam poin a dan b ditambah sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2% sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 bulan sejak saat
terutangnya pajak. Sedangkan untuk poin c
tidak ditambah sanksi karena tidak ada sanksi atas sanksi. Kekuatan
hukum STB mempunyai kekuatan yang sama Surat Ketetapan Pajak, sehingga
penagihannya dapat dilanjutkan dengan Surat Paksa.
I. Tata Cara Pembayaran Pajak
Prosedure pembayaran bea perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah:
1. Wajib pajak wajib membayar pajak yang
terhutang dengan tidak mendasarkan pada adanya Surat Ketetapan Pajak, tetapi
menghitung dan membayar sendiri pajak yang terhutang dengan mengisi surat
Setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (SSB).
2. Pajak yang terutang dibayar kekas Negara
melalui:
a) Kantor pos,
b) Bank BUMN dan BUMD,
c) Tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh
Menteri Keuangan dengan Surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan
(SS-BPHTB).
3. Dalam hal SSB nihil, wajib pajak tidak
perlu ke bank BUMN atau BUMD, cukup SSB
diketahui (ditandatangani) oleh pejabat PPAT atau notaries, Kepala Kantor
Lelang, atau Kantor Pertanahan Kotamadia.[7]
J. Permohonan Keberatan, Banding, Pengurangan
dan Pengampilan BPHTB
Wajib pajak dapat mengajukan keberatan
hanya kepada Direktur Jendral Pajak atas suatu Surat Ketetapan Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB), Surat Ketetapan Bea Perolehan
Hak Atas Tanah Dan Bangunan Kurang Bayar tambahan (SKBKBT), Surat Ketetapan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Lebih Bayar (SKBLB), Surat Ketetapan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Nihil (SKBN).
Pengajuan keberatan harus dilakukan dalam
bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang menurut
perhitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang jelas dan paling
lambat 3 bulan sejak tanggal diterimanya SKBKB atau SKBKBT atau SKBLB atau
SKBN, kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu
tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya. Tanpa penerimaan
surat keberatan yang diberikan oleh pejabat Direktor Jendral Pajak yang
ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman surat keberatan melalui pos tercatat
menjadi tanda bukti penerimaan surat keberatan tersebut bagi kepentingan Wajib
Pajak.
Direktur jendral pajak dalam jangka waktu
paling lama 12 bulan sejak tanggal surat keberatan diterima, harus member
keputusan atas keberatan yang diajukan. Keputusan direktur jendral pajak atas
keberatan dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak, atau
menambah jumlah pajak terutang. Apabila jangka waktu 12 bulan telah lewat dan
direktur jendral pajak tidak member suatu keputusan, keberatan yang diajukan
tersebut dianggap dikabulkan.
Jika terhadap keputusan keberatan, wajib
pajak merasa tidak puas maka wajib pajak berhak mengajukan banding. Banding
hanya dapat diajukan kepada badan penyelesaian sengketa pajak (BPSP).
Apabila pengajuan keberatan atau permohonan
banding diterima sebagian atau seluruhnya, maka kelebihan pembayaran
dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% sebulan, untuk selama
lamanya 24 bulan.
Wajib pajak juga memiliki hak atas
pengurangan BPHTB. Pengurangan BPHTB dapat dilakukan atas permohonan wajib
pajak, jika perolehan BPHTB dipergunakan untuk kegiatan social dan pendidikan
yang semata-mata tidak bertujuan mencari keuntungan.
Pengurangan BPHTB atas 2 hal diatas diberikan sebesar 50%
dari pajak yang seharusnya terutang.[8]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB), adalah pajak yang dikenakan atas
perolehan hak atas tanah dan bangunan. Dalam pembahasan ini, BPHTB selanjutnya
disebut pajak. Yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang
memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Cara Menghitung BPHTB
BPHTB = nilai perolehan objek pajak kena pajak x
tariff
= (NPOP –
NPOPTKP) x 5%
Pajak yang terutang dibayar ke Kas Negara melalui: Bank
Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah,Kantor pos dan
giro, dan Tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh menteri keuangan.
Prosedure pembayaran bea perolehan hak atas tanah dan
bangunan adalah: Wajib pajak wajib membayar pajak yang terhutang dengan tidak
mendasarkan pada adanya Surat Ketetapan Pajak, tetapi menghitung dan membayar
sendiri pajak yang terhutang dengan mengisi surat Setoran Bea Perolehan Hak
Atas Tanah Dan Bangunan (SSB).
DAFTAR PUSTAKA
Hilarus Abut, Perpustakaan Nasional
Republic Indonesia Catalog Dalam Terbitan, Diadit Media, Jakarta, 2010
Liberty Pandingan, Pemahaman Praktis
Undang-Undang Perpajakan Indonesia, Erlangga, Jakarta, 2002
Mardiasmo, Perpajakan, Edisi Revisi
2011, CV Andi offset, Yogyakarta, 2011
Supramono
Theresia Worodamayanti, Perpajakan Indonesia, Andi Offset, 2015.
[3] Liberty Pandingan, Pemahaman
Praktis Undang-Undang Perpajakan Indonesia, Erlangga, Jakarta, 2002, hlm.
351
[5] Hilarus Abut, Perpustakaan
Nasional Republic Indonesia Catalog Dalam Terbitan, Diadit Media, Jakarta,
2010, hlm. 113
[7] Hilarus Abut, Perpustakaan
Nasional Republic Indonesia Catalog Dalam Terbitan, Diadit Media, Jakarta,
2010, hlm. 118
Tidak ada komentar:
Posting Komentar