Rabu, 02 November 2016

bea perolehan pajak atas tanah dan bangunan

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Tanah sebagai bagian dari bumi yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, disamping memenuhi kebutuhan dasar untuk papan dan lahan usaha, juga merupakan alat investasi yang sanagat menguntungkan. Disamping itu, bangunan juga memberi manfaat ekonomi bagi pemiliknya. Oleh karena itu mereka yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan, wajar menyerahkan sebagian nilai ekonomi yang diperolehnya kepada Negara melalui pembayaran pajak, yang dalam hal ini adalah Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Pemungutan BPHTP tetap memperhatikan asas keadilan bagi masyarakat dengan golongan ekonomi lemah dan berpenghasilan rendah melalui nilai perolehan hak atas tanah dan bangunan yang tidak dikenakan pajak.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian BPHTB?
2.      Bagaimana dasar hukum BPHTB?
3.      Apa saja objek pajak dan yang tidak termasuk objek pajak?
4.      Apa yang dimaksud subjek pajak?
5.      Bagaimana dasar pengenaan pajak, nialai perolehan objek pajak tidak kena pajak (NPOPTKP) dan tariff pajak?
6.      Bagaimana cara menghitung BPHTB?
7.      Bagaimana saat terutangnya pajak, tempat terutangnya pajak dan tempat pembayaran?
8.      Apa yang dimaksud SKBKB,SKBKBT, dan STB?
9.      Bagaimana tata cara pembayaran pajak?
10.  Bagaimana permohonan keberatan, banding, pengurangan dan pengampilan BPHTB?
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian
1.      Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB), adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan. Dalam pembahasan ini, BPHTB selanjutnya disebut pajak.
2.      perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.
3.      Hak atas tanah dan atau bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak perolehan, beserta bangunan diatasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok Agraria, Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang rumah susun, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku lainnya.[1]

B.     Dasar Hukum
Dasar hukum bea perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah:
1.      Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang bea perolehan hak atas tanah dan bangunan. Undang-undang ini menggantikan ordonasi bea balik nama staatsblad 1924 Nomor 291.
2.      Peraturan pemerintah No. 111 Thun 2000 tentang pengenaan bphtb karena waris dan hibah.
3.      Peraturan pemerintah No. 112 Tahun 2000 tentang pengenaan BPHTB karena pemberian hak pengelolaan.
4.      Peraturan pemerintah No. 113 Tahun 2000 tentang penentuan besarnya NPOPTKP BPHTB.

C.     Objek Pajak Dan Yang Tidak Termasuk Objek Pajak
1.      Objek pajak
a.       Pemindahan hak karena:
Jual beli,Tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penunjukan pembelian dalam lelang, pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah.
b.      Pemberian hak baru karena:
Kelanjutan pelepasan hak dan diluar pelepasan hak.
2.      Tidak termasuk objek pajak
a.       Perwakilan diplomatic, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik,
b.      Negara untuk penyelenggaraan pemerintah dan atau pelaksanaan pembangunan guna kepentinagn umum.
c.       Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan keputusan menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain diluar fungsi dan tugas badan usaha atau perwakilan organisasi tersebut.
d.      Orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama.
e.       Orang pribadi atau badan karena wakaf.
f.       Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.[2]

D.    Subjek Pajak
Yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan.[3]

E.     Dasar Pengenaan Pajak, Nialai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) Dan Tariff Pajak.
1.      Dasar pengenaan pajak
Yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah nilai perolehan objek pajak (NPOP) sebagai berikut:
a.       Harga transaksi dalam hal: jual beli.
b.      Nilai pasar objek pajak dalam hal:
Tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan hak, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelaksanaan hak, pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah.
c.       Harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang dalam hal: penunjukanpembelian dalam lelang.
d.      Nilai jual objek pajak pajak bumi dan bangunan ( NJOP PBB), apabila besarnya NPOP sebagaimana dimaksud dalam poin a dan b tidak diketahui atau NPOP lebih rendah daripada NJOP PBB.[4]
2.      Nialai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)
Besarnya nilai NPOPTKP ditetapkan secara ragional paling banyak Rp 60.000.000, kecuali dalam perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat keatas atau satu derajat kebawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, NPOPTKP pajak ditetapkan secara ragional sebanyak Rp 300.000.000. besarnya NPOPTKP  dapat diubah dengan peraturan pemerintah dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan harga umum tanah atau bangunan.[5]
3.      Tarif Pajak
Banyaknya tarif pajak ditetapkan sebesar 5%.
F.      Cara Menghitung BPHTB
BPHTB = nilai perolehan objek pajak kena pajak x tariff
  = (NPOP – NPOPTKP) x 5%
Contoh: tuan bidi membeli tanah dan bangunan dengan nilai perolehan objek pajak sebesar Rp 70.000.000, sedangkan nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak yang berlaku di Kabupaten /Kota tersebut Rp 60.000.000.
Penyelesaian: NPOP                                70.000.000
                        NPOPTKP                       60.000.000
                                                                 10.000.000
BPHTP yang terutang = 10.000.000 x 5% = Rp 500.000
G.    Saat Terutangnya pajak,Tempat Terutangnya Pajak Dan Tempat Pembayaran.
1.      Saat Terutang
a.       Sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinyaa akta untuk:
Jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemakaran usaha, dan hadiah.
b.      Sejak tanggal penunjukan pemenang lelang, untuk: lelang.
c.       Sejak tanggalan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, untuk:  putusan hukum.
d.      Sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke kantor pertanahan, untuk: hibah, wasiat dn waris.
e.       Sejak tanggal ditandatanganinya dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak, untuk:
Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru di luar pelepasan hak.[6]
2.      Tempat Pajak Terutang
Tempat pajak terutang adalah di wilayah: Kabupaten, Kota, atau Propinsi.
Tempat tersebut meliputi letak tanah dan atau bangunan.
3.      Tempat Pembayaran
Pajak yang terutang dibayar ke Kas Negara melalui:
a.       Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah
b.      Kantor pos dan giro.
c.       Tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh menteri keuangan.

H.    SKBKB,SKBKBT, dan STB
1.      Surat ketetapan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan kurang bayar (SKBKB)
SKBKB adalah surat ketetapan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi dan jumlah yang masih harus dibayar.
Penerbitan SKBKB, diterbitkan apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang kuranag dibayar. SKBKB dapat diterbitkan oleh Direktur Jendral Pajak dalam jangka waktu 5 tahun sesudah saat terutangnya pajak.
Sanksi SKBKB, jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKBKB ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebualan ( mksimal 24 bulan) dihitung mulai saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SKBKB.

2.      Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Kurang Bayar tambahan (SKBKBT).
SKBKBT adalah surat ketetapan yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan . Penerbitan SKBKBT diterbitkan apabila ditemukan dana baru dan atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah diterbitkannya SKBKB. SKBKBT dapat diterbitkan oleh Direktur Jendral Pajak dalam jangka waktu 5 tahun sesudah saat terutangnya pajak.
          Sanksi SKBKBT, jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKBKBT ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dari jumlah kekurangan pajak tersebut.

3.      Surat Tgihan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (STB)
STB adaah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bungan dan atau denda.Penerbitkan STB diterbitkan apabila:
a)      Pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar,
b)      Dari hasil pemeriksaan Surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (SSB) terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung,
c)      Wajib pajak dikenakan sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda.
          Sanksi STB, jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang dibayar dalam STB sebagaimana dimaksud dalam poin a dan b ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 bulan sejak saat terutangnya pajak. Sedangkan untuk poin c  tidak ditambah sanksi karena tidak ada sanksi atas sanksi. Kekuatan hukum STB mempunyai kekuatan yang sama Surat Ketetapan Pajak, sehingga penagihannya dapat dilanjutkan dengan Surat Paksa.

I.       Tata Cara Pembayaran Pajak
Prosedure pembayaran bea perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah:
1.    Wajib pajak wajib membayar pajak yang terhutang dengan tidak mendasarkan pada adanya Surat Ketetapan Pajak, tetapi menghitung dan membayar sendiri pajak yang terhutang dengan mengisi surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (SSB).
2.    Pajak yang terutang dibayar kekas Negara melalui:
a)      Kantor pos,
b)      Bank BUMN dan BUMD,
c)      Tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan Surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (SS-BPHTB).
3.    Dalam hal SSB nihil, wajib pajak tidak perlu ke bank BUMN  atau BUMD, cukup SSB diketahui (ditandatangani) oleh pejabat PPAT atau notaries, Kepala Kantor Lelang, atau Kantor Pertanahan Kotamadia.[7]

J.       Permohonan Keberatan, Banding, Pengurangan dan Pengampilan BPHTB
Wajib pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jendral Pajak atas suatu Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB), Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Kurang Bayar tambahan (SKBKBT), Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Lebih Bayar (SKBLB), Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Nihil (SKBN).
Pengajuan keberatan harus dilakukan dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang menurut perhitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang jelas dan paling lambat 3 bulan sejak tanggal diterimanya SKBKB atau SKBKBT atau SKBLB atau SKBN, kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya. Tanpa penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh pejabat Direktor Jendral Pajak yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman surat keberatan melalui pos tercatat menjadi tanda bukti penerimaan surat keberatan tersebut bagi kepentingan Wajib Pajak.
Direktur jendral pajak dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak tanggal surat keberatan diterima, harus member keputusan atas keberatan yang diajukan. Keputusan direktur jendral pajak atas keberatan dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah jumlah pajak terutang. Apabila jangka waktu 12 bulan telah lewat dan direktur jendral pajak tidak member suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.
Jika terhadap keputusan keberatan, wajib pajak merasa tidak puas maka wajib pajak berhak mengajukan banding. Banding hanya dapat diajukan kepada badan penyelesaian sengketa pajak (BPSP).
Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding diterima sebagian atau seluruhnya, maka kelebihan pembayaran dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% sebulan, untuk selama lamanya 24 bulan.
Wajib pajak juga memiliki hak atas pengurangan BPHTB. Pengurangan BPHTB dapat dilakukan atas permohonan wajib pajak, jika perolehan BPHTB dipergunakan untuk kegiatan social dan pendidikan yang semata-mata tidak bertujuan mencari keuntungan.
Pengurangan BPHTB atas 2 hal diatas diberikan sebesar 50% dari pajak yang seharusnya terutang.[8]










BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB), adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan. Dalam pembahasan ini, BPHTB selanjutnya disebut pajak. Yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Cara Menghitung BPHTB
BPHTB = nilai perolehan objek pajak kena pajak x tariff
  = (NPOP – NPOPTKP) x 5%
Pajak yang terutang dibayar ke Kas Negara melalui: Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah,Kantor pos dan giro, dan Tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh menteri keuangan.
Prosedure pembayaran bea perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah: Wajib pajak wajib membayar pajak yang terhutang dengan tidak mendasarkan pada adanya Surat Ketetapan Pajak, tetapi menghitung dan membayar sendiri pajak yang terhutang dengan mengisi surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (SSB).






DAFTAR PUSTAKA

Hilarus Abut, Perpustakaan Nasional Republic Indonesia Catalog Dalam Terbitan, Diadit Media, Jakarta, 2010
Liberty Pandingan, Pemahaman Praktis Undang-Undang Perpajakan Indonesia, Erlangga, Jakarta, 2002
Mardiasmo, Perpajakan, Edisi Revisi 2011, CV Andi offset, Yogyakarta, 2011
Supramono  Theresia Worodamayanti, Perpajakan Indonesia, Andi Offset, 2015.



[1] Mardiasmo, Perpajakan, Edisi Revisi 2011, CV Andi offset, Yogyakarta, 2011, hlm. 340
[2] Ibid, hlm. 340-341
[3] Liberty Pandingan, Pemahaman Praktis Undang-Undang Perpajakan Indonesia, Erlangga, Jakarta, 2002, hlm. 351
[4] Mardiasmo, Opcit, hlm. 342
[5] Hilarus Abut, Perpustakaan Nasional Republic Indonesia Catalog Dalam Terbitan, Diadit Media, Jakarta, 2010, hlm. 113
[6] Mardiasmo, Opcit, hlm. 343-345
[7] Hilarus Abut, Perpustakaan Nasional Republic Indonesia Catalog Dalam Terbitan, Diadit Media, Jakarta, 2010, hlm. 118
[8] Supramono  Theresia Worodamayanti, Perpajakan Indonesia, Andi Offset, 2015, hlm. 116-117 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar