Etika
Bisnis di Indonesia Melalui Pendekatan Budaya dan Agama
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Pada dasarnya, bisnis merupakan salah satu kegiatan
silaturahmi dan bermuamalah, yaitu sebuah hubungan antar sesama umat manusia
dengan tujuan untuk saling menguntungkan. Namun sekarang ini, banyak pelaku bisnis
yang mengesampingkan norma-norma yang seharusnya ditaati. Sebagai pelaku bisnis
yang beriman, sudah seharusnya kita melakukan kegiatan bisnis dengan berdasar
pada norma-norma yang ada. Dengan berpijak pada landasan yang benar,
selanjutnya akan mengantarkan kepada bisnis yang sehat dan membawa berkah.[1] Seiring dengan adanya globalisasi, maka dunia
bisnis pun mau tidak mau harus mengikuti keadaan ini. Kegiatan bisnis ini penuh
dengan pasang surut, siasat, taktik maupun cara-cara strategis dan bahkan saling
jegal antar pesaing sering kali terjadi. Dapat dipahami jika masyarakat secara
umum, terutama pada pelaku bisnis, agak sulit mengerti hubungan antara bisnis dan etika, karena merupakan sebuah
kontradiktif. Akan tetapi, pada kenyataannya pelaku bisnis maupuan institusi
bisnis yang tidak melakukan kegiatannya sesuai norma, aturan maupun etika akan
mendapatkan citra yang buruk di masyarakat dan cepat atau lambat akan merugiakan
perusahaan itu sendiri.[2]
B. Rumusan
Masalah
1.
Pengertian
Etika bisnis
2.
Prinsip-prinsip Etika Bisnis
3.
Etika bisnis dalam
pandangan budaya dan agama
C. Tujuan
dan Manfaat
Tujuan
: Adapun tujuan dari
penulisan makalah ini adalah
Mengerti dan memahami arti dari etika dilihat
dari perspektif budaya dan agama
Manfaat :
membentuk etika bisnis yang baik sesuai
dengan ketentuan budaya dan agama
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Etika bisnis
Etika berasal dari bahasa yunani “ethos” berarti
adat istiadat atau kebiasaan. Hal ini berarti etika berkaitan dengan
nilai-nilai, tata cara hidup yang baik, aturan hidup yang baik, dan segala
kebiasaan yang dianut dan diwariskan dari satu orang ke orang lain atau dari
satu generasi ke generasi yang lainnya. Sedangkan etika bisnis adalah studi
yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan yang salah. Studi ini
berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan,
institusi, dan perilaku bisnis.[3]
B.
Prinsip-prinsip
Etika Bisnis
Prinsip-prinsip
yang berlaku dalam bisnis yang baik sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari
kehidupan kita sebagai manusia, dan prinsip-prinsip ini sangat erat terkait
dengan sistem nilai yang dianut oleh masing-masing masyarakat. Sonny Keraf
(1998) menjelaskan, bahwa prinsip etika bisnis sebagai berikut;
1).
Amanah atau Prinsip otonomi; adalah sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil
keputusan dan bertindak berdasarkan kesadarannya tentang apa yang dianggapnya
baik untuk dilakukan. (Qs. Al Ahzab :72). Salah satu bentuk amanah adalah
seorang pebisnis harus amanah dalam takaran dan neraca. Dia tidak boleh mengurangi
barang-barang orang lain dan tidak boleh menakar dengan takaran yang tidak
sesuai takarannya.
2). Prinsip kejujuran; bisnis tidak akan bisa
bertahan lama dan berhasil kalau tidak didasarkan atas kejujuran.
3).
Prinsip keadilan; menuntut agar setiap orang diperlakukan secara sama sesuai
dengan aturan yang adil dan sesuai kriteria yang rasional obyektif, serta dapat
dipertanggung jawabkan.
4).
Toleransi atau Prinsip saling menguntungkan; menuntut agar bisnis dijalankan
sedemikian rupa sehingga menguntungkan semua pihak. Salah satu contohnya adalah
mempermudah dalam jual beli, seorang pedagang tidak akan mempermahal harga
barang dagangannya agar tidak menganiaya saudaranya yang seagama dan tidak
mempersulit kehidupannya.
5).
Prinsip integritas moral; terutama dihayati sebagai tuntutan internal dalam
diri pelaku bisnis atau perusahaan, agar perlu menjalankan bisnis dengan tetap
menjaga nama baik pimpinanatau orang-orangnya maupun perusahaannya.[4]
Hendaknya
setiap diri atau pebisnis memperhatikan apa yang sudah diperbuatnya untuk hari
esok (akhirat); mengutamakan kepentingan umum, misalnya dengan penekanan pada
penunaian zakat, infak dan sedekah; menekankan perlunya profesionalisme dalam
berbisnis, misalnya dalam hal komitmen pada kualitas, produktivitas kerja,
efektivitas, efisiensi, dan tertib pembukuan.Profesionalisme telah dicontohkan
dalam keseluruhan perjuangan Nabi Muhammad, bahkan dalam semua bidang
kehidupannya. Hal itu merupakan tuntunan moral dan etika Qur'ani. Tidak hanya
dalam berbisnis (QS 2: 282-283); tapi juga dalam memenuhi komitmen (janji)
dengan tepat (QS 3: 152; QS 4: 122).
C.
Etika
bisnis dalam pandangan budaya dan agama
Etika dalam implementasinya selalu dipengaruhi oleh
faktor agama dan budaya. Faktor budaya dan agama mempengaruhi proses perumusan
etika bisnis dalam dua hal: (1) Agama dan budaya dianggap sebagai sumber utama
hukum, peraturan dan kode etik. (2) Agama dan budaya lebih independen.[5]
Secara normatif,
nilai-nilai dasar yang memberikan pedoman dalam perilaku bisnis Islami
tercermin dalam perilaku Nabi Muhammad SAW. Sebagai a trading manager, perilaku
bisnis Nabi, seperti digambarkan oleh Aisyah ra, adalah memiliki motivasi dan
perilaku Qur'ani, di antaranya: berwawasan ke depan dan menekankan perlunya
perencanaan (QS 59: 18). Dalam konsep etika demikian, dan QS 30: 6), dalam
memenuhi takaran, mempertahankan kejujuran dan keadilan dalam bermuamalah (QS
87: 1-3), dalam mengutamakan efisiensi terkait penggunaan sumber daya, tapi
tidak kikir (QS 17: 26-27), dalam menegakkan kedisiplinan kerja (QS 24: 51-52;
QS 18: 85-89). Nabi Muhammad juga dinamis dan selalu adaptif menghadapi
perubahan (QS 2: 138; QS 2: 30). Ulet, bekerja keras, sabar dan pantang
menyerah (QS 2: 155-157; QS 3: 186). Menekankan perlunya ukhuwah dan pemeliharaan
hubungan baik antarsesama manusia (QS 3: 103-104; QS 6: 159-165).[6]
Etika bisnis Islami merupakan tatacara pengelolaan bisnis
berdasarkan Al-Qur'an dan hadist, dan hukum yang telah dibuat oleh para ahli
fiqih. Pendekatan kebudayaan didasarkan pada pengertian dari Edgar J. Schein,
budaya adalah pola asumsi-asumsi dasar yang ditemukan, diciptakan, atau
dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu dengan maksud agar organisasi belajar
mengatasi atau menanggulangi masalah-masalah yang timbul akibat adaptasi eksternal
dan integrasi internal yang sudah berjalan cukup baik, sehingga perlu diajarkan
kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar untuk memahami, memikirkan,
dan merasakan berkenaan dengan masalah tersebut. Bertolak dari pemahaman
tersebut, maka dapat dirumuskan beberapa unsure budaya, yaitu : Nilai (value),
norma, wewenang, dan imbal jasa atau penghargaan.[7]
Pada dasarnyan
kitab suci Al Qur’an dari Agama Islam juga mengajarkan unsur-unsur tersebut
seperti manusia harus bekerja keras (Al Qur’an surat Al Qashash :77; Al Jum’ah
:11; At-Taubah :105), Bekerja merupakan mukmin yang sukses (Al Mu’minun :3),
Islam mengangkat nilai kerja (Al Baqarah :110, An-Nahl :97), Islam melarang
berusaha secara batil (An Nisa :29), Allah SWT tidak mengubah nasib suatu kaum,
kecuali kaum itu sendiri berusaha keras untuk mengubahnya (Al Qur’an : 13 :11).
Oleh karena itu, seseorang perlu memperaktikan etika baik dalam pendekatan
agama maupun budaya dalam kehidupan kerja di Indonesia.
a. Etika
bisnis dalam pendekatan budaya (budaya korporasi)
keseluruhan kepercayaan (beliefs) dan nilai-nilai
(values) yang tumbuh dan berkembang dalam suatu organisasi, menjadi dasar cara
berpikir, berperilaku dan bertindak dari seluruh insan organisasi, dan
diturunkan dari satu generasi ke generasi. Budaya kerja dapat di daya gunakan
sebagai daya dorong yang efektif dalam mencapai tujuan sesuai dengan visi dan
misi organisasi. Budaya perusahaan biasanya dimulai dari tindakan-tindakan dan
nilai-nilai dari sang pemimpin perusahaan dan seiring dengan waktu, tanpa
disadari oleh sang pemimpin tersebut, nilai-nilai dan tindakan itu membudaya
dengan sendirinya dan dianut oleh semua karyawan. Di dalam budaya korporatif,
peran pemimpin sangat penting, antara lain, sebagai: 1) First Adapter, penerima
dan pelaksana pertama dari budaya kerja, 2) Motivator, untuk mendorong insan
organisasi/korporasi melaksanakan budaya kerja secara konsisten dan konsekuen,
3) Role Model, teladan bagi insan korporasi terhadap pelaksanaan Budaya Kerja,
dan 4) Pencetus dan pengelola strategi, dan program budaya kerja sesuai
kebutuhan korporasi. Dari ulasan di atas, terlihat bahwa pembentukan budaya
korporatif (budaya perusahaan) yang baik, yang paling menentukan adalah
orang-orangnya. Sebaik apapun aturan atau sistem di buat, tanpa ada keinginan
dari manusia untuk berubah ke arah yang lebih baik, semuanya menjadi tak
berarti. [8]
b. Etika
bisnis dengan pendekatan agama
Etika
dan Moral Melalui Pendekatan Agama, Secara etimologi kata “etika” dan “moral”
berasal dari kata yang berarti adat kebiasaan, hanya bahasa asalnya berbeda.
Etika berasal dari bahasa Yunani, moral berasal dari bahasa Latin. Etika : 1.
Nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau
suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. 2. Kumpulan asas atau nilai
moral (kode etik). 3. Ilmu tentang baik dan buruk (diterima dalam suatu
masyarakat) Moralitas = sifat moral atau
keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk. Nilai-nilai
moral, nilai-nilai baik atau buruk, salah atau benar dapat muncul dalam
penilaian dan kehidupan manusia karena : 1. Adanya Wahyu dari Sang Khalik yang
diberikan kepada keimanan manusia itu sendiri. Karena itu setiap manusia harus
taat beragama atau taat kepada pencipta-Nya. 2. Adanya pencarian oleh manusia itu
sendiri terhadap fenomena-fenomena yang dihadapinya melalui pikiran-pikiran
yang rasional melalui pendekatan-pendekatan filsafat. Informasi-informasi yang
baik akan mempengaruhi terhadap kebaikan moralnya, begitu sebaliknya. Karena
itu setiap manusia harus giat-giatnya belajar untuk dapat terus memperbaiki
kualitas moralnya. 3. Dari hati nurani/suara hati. Namun suara hati dapat saja
salah, karena itu perlu dilatih sejak kecil dan mau mendengarkan suara hati
dalam memutuskan masalah-masalah yang berkaitan dengan moral.
Pada dasarnya islam merupakan suatu kode perilaku etik
bagi seluruh kehidupan manusia, yang didasarkan pada perintah dan petunjuk
ilahi. Etika islam meliputi seluruh wilayah kehidupan manusia. Ia tidak hanya
menetapkan prinsip etika atau moral fundamental bagi seluruh kehidupan manusia,
namun juga memberikan garis petunjuk yang luas bagi tiap aspek aktifitas
manusia secara terpisah. Garis petunjuk etika ini bersifat operasional dan
praktis.[9]
Orientasi bisnis yang sesungguhnya adalah uang atau dalam bahasa sederhananya,
bekerja adalah untuk mencari laba. Disini uang seperti menjadi tujuan utama
dalam bekerja. Berpijak dari pemikiran ini maka dalam berbisnis seseorang harus
memiliki perhitungan yang matang bukan hanya dalam memprediksi prospek
usahanya, akan tetapi juga perhitungan dalam hal keluar masuknya uang. Maka
dapat disimpulkan bahwa bisnis yang seperti ini adalah bisnis yang berbasis
bisnis oriented. Dari bisnis ini muncullah berbagai kecurangan berkaitan dengan
untuk meraup keuntungan yang berlipat ganda.
Sekarang marilah kita lihat bagaimana
orientasi bisnis yang dijalankan dan diajarkan oleh nabi. Nabi sendiri
menetapkan perihal kerja adalah badah. Dikatakan ibadah karena kerja
sesungguhnya adalah perintah. Tak tanggung-tanggung Allah sendiri yang
memerintahkan itu lewat nabi-Nya. Dengan demikian ada dua keuntungan yang akan
diperoleh yakni keuntungan materi yaitu berupa laba uang dan keuntungan non
materi yakni pahala. Keuntungan yang kedua baru bisa didapat manakala seseorang
bekerja mempunyai niat beribadah. Berpijak pada konsep diatas maka dalam ajaran
nabi prinsip kerja adalah yang penting halal dan menghapus prinsip yang penting
dapat uang. Prinsip yang penting halal memberikan pengertian bahwa nabi tidak
membatasi jenis-jenis pekerjaan tertentu. Bekerja apapun sah dan boleh asal
yang terpenting perolehan rizqinya ditempuh dengan cara yang baik.[10]
Dalam konsep sah dan bolehnya suatu bisnis tak terlepas dari prinsip-prinsip
islam. Berikut beberapa prinsip tersebut :
a. Hukum
asal muamalah adalah boleh
b. Tidak
membahayakan diri sendiri
c. Keterkaitan
antara pendapatan dan kerja keras
d. laba
berfungsi untuk memelihara modal
e. sarana
yang mengantarkan pada perbuatan haram hukumnya juga haram.
f. Maksud
dan tujuan sangat diperhitungkan dalam akad
g. Setiap
pinjaman yang berbunga adalah haram
h. orang-orang
islam harus memenuhi syarat-syarat yang mereka sepakati [11]
i.
dll
Setiap agama mengandung suatu ajaran moral yang menjadi
pegangan bagi perilaku para penganutnya. Ajaran moral dalam suatu agama
dianggap sangat penting : Karena ajaran itu berasal dari Tuhan dan
mengungkapkan kehendak Tuhan. Dasarnya adalah Wahyu. Ajaran moral itu diterima
karena alasan keimanan. Jadi alasan-alasan menerima aturan moral : 1. Karena
alasan keagamaan. 2. Karena alasan filsafat (alasan-alasn rasional) Filsafat :
Titik tolaknya adalah dalam rasio, dan untuk selanjutnya juga mendasarkan diri
hanya atas rasio. Filsafat hanya menerima argument-argumen, artinya,
alasan-alasan logis yang dapat dimengerti dan disetujui semua orang. Ia menghindari
setiap unsure non rasional yang meloloskan diri dari pemeriksaan oleh rasio.
Keimanan : Justru tidak terbuka untuk pemeriksaan rasional. Kebenaran iman
tidak dibuktikan, melainkan dipercaya. Kebenaran tidak diterima karena
dimengerti melainkan karena terjamin oleh usul-usul Ilahi atau Wahyu. Kesalahan
Moral : Dalam konteks agama, kesalahan moral adalah dosa, artinya orang
beragama merasa bersalah di hadapan Tuhan karena melanggar perintah-Nya.
Setiap individu selalu mencari norma-norma yang lebih
tinggi dalam mengatasi masalah hidupnya sampai norma tertinggi terakhir. Norma
tertinggi yang diakui adalah nilai-nilai moral yang berasal dari Sang Khalik
sendiri (wahyu). Dalam lingkungan sosialnya setiap individu akan selalu
berhadapan dengan konflik karena perbedaan pandangan terhadap suatu nilai-nilai
moral. Untuk itu perlu tahapan untuk menilai suatu nilai moral dengan melihat
norma-norma yang lebih tinggi. Misalnya: 1. Konflik antar karyawan-karyawan,
bawahan-atasan, atasan-atasan, dan lain-lain, dalam mengatasinya harus
mengikuti norma di perusahaannya, yaitu Anggaran Dasar dan Angaran Rumah
Tangga. 2. Konflik antara karyawan dengan perusahaan kadangkala tidak dapat
diselesaikan dengan menggunakan AD/ART, maka mereka akan meninjau norma yang
lebih tinggi lagi, yaitu Peraturan Pemerintah atau Undang-Undang. 3.
Undang-Undang yang menaungi aturan tersebut dianggap bersifat diskriminatif,
maka harus ditinjau norma yang lebih tinggi lagi yaitu UUD. 4. UUD bukanlah hal
yang haram untuk diubah jika bertentangan dengan nilai-nilai moral. Demikianlah
tindakan yang harus dilakukan oleh antar individu atau dengan lingkungan
sosialnya agar konflik-konflik dapat diatasi dengan baik, yaitu dengan
melakukan pencarian norma-norma yang lebih tinggi lagi sampai kepada norma
tertinggi yaitu nilai-nilai moral itu sendiri.[12]
BAB III
PENUTUP
etika bisnis adalah studi yang dikhususkan mengenai
moral yang benar dan yang salah. Studi ini berkonsentrasi pada standar moral
sebagaimana diterapkan dalam kebijakan, institusi, dan perilaku bisnis. Prinsip-prinsip
yang berlaku dalam bisnis yang baik sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari
kehidupan kita sebagai manusia, dan prinsip-prinsip ini sangat erat terkait
dengan sistem nilai yang dianut oleh masing-masing masyarakat. Sonny Keraf
(1998) menjelaskan, bahwa prinsip etika bisnis sebagai berikut:
1).
Amanah atau Prinsip otonom
2).
Prinsip kejujuran
3).
Prinsip keadilan
4).
Toleransi atau Prinsip saling menguntungkan
5).
Prinsip integritas moral
Etika
dalam implementasinya selalu dipengaruhi oleh faktor agama dan budaya. Faktor
budaya dan agama mempengaruhi proses perumusan etika bisnis dalam dua hal: (1)
Agama dan budaya dianggap sebagai sumber utama hukum, peraturan dan kode etik.
(2) Agama dan budaya lebih independen. Etika bisnis Islami merupakan tatacara
pengelolaan bisnis berdasarkan Al-Qur'an dan hadist, dan hukum yang telah
dibuat oleh para ahli fiqih. Pendekatan kebudayaan didasarkan pada pengertian
dari Edgar J. Schein, budaya adalah pola asumsi-asumsi dasar yang ditemukan,
diciptakan, atau dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu dengan maksud agar
organisasi belajar mengatasi atau menanggulangi masalah-masalah yang timbul
akibat adaptasi eksternal dan integrasi internal yang sudah berjalan cukup baik,
sehingga perlu diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar
untuk memahami, memikirkan, dan merasakan berkenaan dengan masalah tersebut.
BAB IV
Daftar pustaka
Lukman
Agung, menjadi kaya bersama rasulullah, Jogjakarta, DIVA Press, 2007
Arijanto
agus, Etika bisnis bagi pelaku bisnis, Jakarta, Pt Raja grafindopersada, 2012
Dr.Asraf,
Meneladani keunggulan bisnis rasulullah, semarang:pustaka nuun, 2008
http://dwiajisapto.blogspot.com/2011/10/etika-bisnis-di-indonesia-melalui.html
Dr.
Taha Jabir, Bisnis Islam, Yogyakarta, AK group, 2005
Nachrawie
AS, Menggapai rizqi dengan berbisnis yang barokah, delta prima press, 2011
[1]
Lukman Agung, menjadi kaya bersama rasulullah, Jogjakarta, DIVA Press, 2007,
Hal 70
[2]
Arijanto agus, Etika bisnis bagi pelaku bisnis, Jakarta, Pt Raja
grafindopersada, 2012, hal 3
[3]
Arijanto agus, Etika bisnis bagi pelaku bisnis, Jakarta, Pt Raja grafindopersada,
2012, hal 5
[4]Dr.Asraf,
Meneladani keunggulan bisnis rasulullah, semarang:pustaka nuun, 2008, Hal 58-74
[5] http://dwiajisapto.blogspot.com/2011/10/etika-bisnis-di-indonesia-melalui.html
[6]
Ibid
[7]
Arijanto agus, Etika bisnis bagi pelaku bisnis, Jakarta, Pt Raja
grafindopersada, 2012, hal 42-44
[8]
Arijanto agus, Etika bisnis bagi pelaku bisnis, Jakarta, Pt Raja
grafindopersada, 2012, hal 41
[9]
Dr. Taha Jabir, Bisnis Islam, Yogyakarta, AK group, 2005 Hal 36
[10]
Nachrawie AS, Menggapai rizqi dengan berbisnis yang barokah, delta prima press,
2011, hal 44-47
[11]
Dr.Asraf, Meneladani keunggulan bisnis rasulullah, semarang:pustaka nuun,
2008,1 41-159
Tidak ada komentar:
Posting Komentar