Rabu, 02 November 2016

etika bisnis di indonesia melalui pendekatan budaya dan agama

Etika Bisnis di Indonesia Melalui Pendekatan Budaya dan Agama
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya, bisnis merupakan salah satu kegiatan silaturahmi dan bermuamalah, yaitu sebuah hubungan antar sesama umat manusia dengan tujuan untuk saling menguntungkan. Namun sekarang ini, banyak pelaku bisnis yang mengesampingkan norma-norma yang seharusnya ditaati. Sebagai pelaku bisnis yang beriman, sudah seharusnya kita melakukan kegiatan bisnis dengan berdasar pada norma-norma yang ada. Dengan berpijak pada landasan yang benar, selanjutnya akan mengantarkan kepada bisnis yang sehat dan membawa berkah.[1]  Seiring dengan adanya globalisasi, maka dunia bisnis pun mau tidak mau harus mengikuti keadaan ini. Kegiatan bisnis ini penuh dengan pasang surut, siasat, taktik maupun cara-cara strategis dan bahkan saling jegal antar pesaing sering kali terjadi. Dapat dipahami jika masyarakat secara umum, terutama pada pelaku bisnis, agak sulit mengerti hubungan antara  bisnis dan etika, karena merupakan sebuah kontradiktif. Akan tetapi, pada kenyataannya pelaku bisnis maupuan institusi bisnis yang tidak melakukan kegiatannya sesuai norma, aturan maupun etika akan mendapatkan citra yang buruk di masyarakat dan cepat atau lambat akan merugiakan perusahaan itu sendiri.[2]
B.     Rumusan Masalah
1.      Pengertian Etika bisnis
2.       Prinsip-prinsip Etika Bisnis
3.      Etika bisnis dalam pandangan budaya dan agama
C.     Tujuan dan Manfaat
Tujuan : Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah Mengerti dan memahami arti dari etika dilihat dari perspektif budaya dan agama
Manfaat : membentuk  etika bisnis yang baik sesuai dengan ketentuan budaya dan agama

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Etika bisnis
Etika berasal dari bahasa yunani “ethos” berarti adat istiadat atau kebiasaan. Hal ini berarti etika berkaitan dengan nilai-nilai, tata cara hidup yang baik, aturan hidup yang baik, dan segala kebiasaan yang dianut dan diwariskan dari satu orang ke orang lain atau dari satu generasi ke generasi yang lainnya. Sedangkan etika bisnis adalah studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan yang salah. Studi ini berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan, institusi, dan perilaku bisnis.[3]
B.     Prinsip-prinsip Etika Bisnis
Prinsip-prinsip yang berlaku dalam bisnis yang baik sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kita sebagai manusia, dan prinsip-prinsip ini sangat erat terkait dengan sistem nilai yang dianut oleh masing-masing masyarakat. Sonny Keraf (1998) menjelaskan, bahwa prinsip etika bisnis sebagai berikut;
1). Amanah atau Prinsip otonomi; adalah sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan kesadarannya tentang apa yang dianggapnya baik untuk dilakukan. (Qs. Al Ahzab :72). Salah satu bentuk amanah adalah seorang pebisnis harus amanah dalam takaran dan neraca. Dia tidak boleh mengurangi barang-barang orang lain dan tidak boleh menakar dengan takaran yang tidak sesuai takarannya. 
 2). Prinsip kejujuran; bisnis tidak akan bisa bertahan lama dan berhasil kalau tidak didasarkan atas kejujuran.
3). Prinsip keadilan; menuntut agar setiap orang diperlakukan secara sama sesuai dengan aturan yang adil dan sesuai kriteria yang rasional obyektif, serta dapat dipertanggung jawabkan.
4). Toleransi atau Prinsip saling menguntungkan; menuntut agar bisnis dijalankan sedemikian rupa sehingga menguntungkan semua pihak. Salah satu contohnya adalah mempermudah dalam jual beli, seorang pedagang tidak akan mempermahal harga barang dagangannya agar tidak menganiaya saudaranya yang seagama dan tidak mempersulit kehidupannya. 
5). Prinsip integritas moral; terutama dihayati sebagai tuntutan internal dalam diri pelaku bisnis atau perusahaan, agar perlu menjalankan bisnis dengan tetap menjaga nama baik pimpinanatau orang-orangnya maupun perusahaannya.[4]
Hendaknya setiap diri atau pebisnis memperhatikan apa yang sudah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); mengutamakan kepentingan umum, misalnya dengan penekanan pada penunaian zakat, infak dan sedekah; menekankan perlunya profesionalisme dalam berbisnis, misalnya dalam hal komitmen pada kualitas, produktivitas kerja, efektivitas, efisiensi, dan tertib pembukuan.Profesionalisme telah dicontohkan dalam keseluruhan perjuangan Nabi Muhammad, bahkan dalam semua bidang kehidupannya. Hal itu merupakan tuntunan moral dan etika Qur'ani. Tidak hanya dalam berbisnis (QS 2: 282-283); tapi juga dalam memenuhi komitmen (janji) dengan tepat (QS 3: 152; QS 4: 122).

C.    Etika bisnis dalam pandangan budaya dan agama
Etika dalam implementasinya selalu dipengaruhi oleh faktor agama dan budaya. Faktor budaya dan agama mempengaruhi proses perumusan etika bisnis dalam dua hal: (1) Agama dan budaya dianggap sebagai sumber utama hukum, peraturan dan kode etik. (2) Agama dan budaya lebih independen.[5]
 Secara normatif, nilai-nilai dasar yang memberikan pedoman dalam perilaku bisnis Islami tercermin dalam perilaku Nabi Muhammad SAW. Sebagai a trading manager, perilaku bisnis Nabi, seperti digambarkan oleh Aisyah ra, adalah memiliki motivasi dan perilaku Qur'ani, di antaranya: berwawasan ke depan dan menekankan perlunya perencanaan (QS 59: 18). Dalam konsep etika demikian, dan QS 30: 6), dalam memenuhi takaran, mempertahankan kejujuran dan keadilan dalam bermuamalah (QS 87: 1-3), dalam mengutamakan efisiensi terkait penggunaan sumber daya, tapi tidak kikir (QS 17: 26-27), dalam menegakkan kedisiplinan kerja (QS 24: 51-52; QS 18: 85-89). Nabi Muhammad juga dinamis dan selalu adaptif menghadapi perubahan (QS 2: 138; QS 2: 30). Ulet, bekerja keras, sabar dan pantang menyerah (QS 2: 155-157; QS 3: 186). Menekankan perlunya ukhuwah dan pemeliharaan hubungan baik antarsesama manusia (QS 3: 103-104; QS 6: 159-165).[6]
Etika bisnis Islami merupakan tatacara pengelolaan bisnis berdasarkan Al-Qur'an dan hadist, dan hukum yang telah dibuat oleh para ahli fiqih. Pendekatan kebudayaan didasarkan pada pengertian dari Edgar J. Schein, budaya adalah pola asumsi-asumsi dasar yang ditemukan, diciptakan, atau dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu dengan maksud agar organisasi belajar mengatasi atau menanggulangi masalah-masalah yang timbul akibat adaptasi eksternal dan integrasi internal yang sudah berjalan cukup baik, sehingga perlu diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar untuk memahami, memikirkan, dan merasakan berkenaan dengan masalah tersebut. Bertolak dari pemahaman tersebut, maka dapat dirumuskan beberapa unsure budaya, yaitu : Nilai (value), norma, wewenang, dan imbal jasa atau penghargaan.[7]
 Pada dasarnyan kitab suci Al Qur’an dari Agama Islam juga mengajarkan unsur-unsur tersebut seperti manusia harus bekerja keras (Al Qur’an surat Al Qashash :77; Al Jum’ah :11; At-Taubah :105), Bekerja merupakan mukmin yang sukses (Al Mu’minun :3), Islam mengangkat nilai kerja (Al Baqarah :110, An-Nahl :97), Islam melarang berusaha secara batil (An Nisa :29), Allah SWT tidak mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri berusaha keras untuk mengubahnya (Al Qur’an : 13 :11). Oleh karena itu, seseorang perlu memperaktikan etika baik dalam pendekatan agama maupun budaya dalam kehidupan kerja di Indonesia.
a.       Etika bisnis dalam pendekatan budaya (budaya korporasi)
keseluruhan kepercayaan (beliefs) dan nilai-nilai (values) yang tumbuh dan berkembang dalam suatu organisasi, menjadi dasar cara berpikir, berperilaku dan bertindak dari seluruh insan organisasi, dan diturunkan dari satu generasi ke generasi. Budaya kerja dapat di daya gunakan sebagai daya dorong yang efektif dalam mencapai tujuan sesuai dengan visi dan misi organisasi. Budaya perusahaan biasanya dimulai dari tindakan-tindakan dan nilai-nilai dari sang pemimpin perusahaan dan seiring dengan waktu, tanpa disadari oleh sang pemimpin tersebut, nilai-nilai dan tindakan itu membudaya dengan sendirinya dan dianut oleh semua karyawan. Di dalam budaya korporatif, peran pemimpin sangat penting, antara lain, sebagai: 1) First Adapter, penerima dan pelaksana pertama dari budaya kerja, 2) Motivator, untuk mendorong insan organisasi/korporasi melaksanakan budaya kerja secara konsisten dan konsekuen, 3) Role Model, teladan bagi insan korporasi terhadap pelaksanaan Budaya Kerja, dan 4) Pencetus dan pengelola strategi, dan program budaya kerja sesuai kebutuhan korporasi. Dari ulasan di atas, terlihat bahwa pembentukan budaya korporatif (budaya perusahaan) yang baik, yang paling menentukan adalah orang-orangnya. Sebaik apapun aturan atau sistem di buat, tanpa ada keinginan dari manusia untuk berubah ke arah yang lebih baik, semuanya menjadi tak berarti. [8]
b.      Etika bisnis dengan pendekatan agama
Etika dan Moral Melalui Pendekatan Agama, Secara etimologi kata “etika” dan “moral” berasal dari kata yang berarti adat kebiasaan, hanya bahasa asalnya berbeda. Etika berasal dari bahasa Yunani, moral berasal dari bahasa Latin. Etika : 1. Nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. 2. Kumpulan asas atau nilai moral (kode etik). 3. Ilmu tentang baik dan buruk (diterima dalam suatu masyarakat)  Moralitas = sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk. Nilai-nilai moral, nilai-nilai baik atau buruk, salah atau benar dapat muncul dalam penilaian dan kehidupan manusia karena : 1. Adanya Wahyu dari Sang Khalik yang diberikan kepada keimanan manusia itu sendiri. Karena itu setiap manusia harus taat beragama atau taat kepada pencipta-Nya. 2. Adanya pencarian oleh manusia itu sendiri terhadap fenomena-fenomena yang dihadapinya melalui pikiran-pikiran yang rasional melalui pendekatan-pendekatan filsafat. Informasi-informasi yang baik akan mempengaruhi terhadap kebaikan moralnya, begitu sebaliknya. Karena itu setiap manusia harus giat-giatnya belajar untuk dapat terus memperbaiki kualitas moralnya. 3. Dari hati nurani/suara hati. Namun suara hati dapat saja salah, karena itu perlu dilatih sejak kecil dan mau mendengarkan suara hati dalam memutuskan masalah-masalah yang berkaitan dengan moral.

Pada dasarnya islam merupakan suatu kode perilaku etik bagi seluruh kehidupan manusia, yang didasarkan pada perintah dan petunjuk ilahi. Etika islam meliputi seluruh wilayah kehidupan manusia. Ia tidak hanya menetapkan prinsip etika atau moral fundamental bagi seluruh kehidupan manusia, namun juga memberikan garis petunjuk yang luas bagi tiap aspek aktifitas manusia secara terpisah. Garis petunjuk etika ini bersifat operasional dan praktis.[9] Orientasi bisnis yang sesungguhnya adalah uang atau dalam bahasa sederhananya, bekerja adalah untuk mencari laba. Disini uang seperti menjadi tujuan utama dalam bekerja. Berpijak dari pemikiran ini maka dalam berbisnis seseorang harus memiliki perhitungan yang matang bukan hanya dalam memprediksi prospek usahanya, akan tetapi juga perhitungan dalam hal keluar masuknya uang. Maka dapat disimpulkan bahwa bisnis yang seperti ini adalah bisnis yang berbasis bisnis oriented. Dari bisnis ini muncullah berbagai kecurangan berkaitan dengan untuk meraup keuntungan yang berlipat ganda.
Sekarang marilah kita lihat bagaimana orientasi bisnis yang dijalankan dan diajarkan oleh nabi. Nabi sendiri menetapkan perihal kerja adalah badah. Dikatakan ibadah karena kerja sesungguhnya adalah perintah. Tak tanggung-tanggung Allah sendiri yang memerintahkan itu lewat nabi-Nya. Dengan demikian ada dua keuntungan yang akan diperoleh yakni keuntungan materi yaitu berupa laba uang dan keuntungan non materi yakni pahala. Keuntungan yang kedua baru bisa didapat manakala seseorang bekerja mempunyai niat beribadah. Berpijak pada konsep diatas maka dalam ajaran nabi prinsip kerja adalah yang penting halal dan menghapus prinsip yang penting dapat uang. Prinsip yang penting halal memberikan pengertian bahwa nabi tidak membatasi jenis-jenis pekerjaan tertentu. Bekerja apapun sah dan boleh asal yang terpenting perolehan rizqinya ditempuh dengan cara yang baik.[10] Dalam konsep sah dan bolehnya suatu bisnis tak terlepas dari prinsip-prinsip islam. Berikut beberapa prinsip tersebut :
a.       Hukum asal muamalah adalah boleh
b.      Tidak membahayakan diri sendiri
c.       Keterkaitan antara pendapatan dan kerja keras
d.      laba berfungsi untuk memelihara modal
e.       sarana yang mengantarkan pada perbuatan haram hukumnya juga haram.
f.       Maksud dan tujuan sangat diperhitungkan dalam akad
g.      Setiap pinjaman yang berbunga adalah haram
h.      orang-orang islam harus memenuhi syarat-syarat yang mereka sepakati [11]
i.        dll

Setiap agama mengandung suatu ajaran moral yang menjadi pegangan bagi perilaku para penganutnya. Ajaran moral dalam suatu agama dianggap sangat penting : Karena ajaran itu berasal dari Tuhan dan mengungkapkan kehendak Tuhan. Dasarnya adalah Wahyu. Ajaran moral itu diterima karena alasan keimanan. Jadi alasan-alasan menerima aturan moral : 1. Karena alasan keagamaan. 2. Karena alasan filsafat (alasan-alasn rasional) Filsafat : Titik tolaknya adalah dalam rasio, dan untuk selanjutnya juga mendasarkan diri hanya atas rasio. Filsafat hanya menerima argument-argumen, artinya, alasan-alasan logis yang dapat dimengerti dan disetujui semua orang. Ia menghindari setiap unsure non rasional yang meloloskan diri dari pemeriksaan oleh rasio. Keimanan : Justru tidak terbuka untuk pemeriksaan rasional. Kebenaran iman tidak dibuktikan, melainkan dipercaya. Kebenaran tidak diterima karena dimengerti melainkan karena terjamin oleh usul-usul Ilahi atau Wahyu. Kesalahan Moral : Dalam konteks agama, kesalahan moral adalah dosa, artinya orang beragama merasa bersalah di hadapan Tuhan karena melanggar perintah-Nya.
Setiap individu selalu mencari norma-norma yang lebih tinggi dalam mengatasi masalah hidupnya sampai norma tertinggi terakhir. Norma tertinggi yang diakui adalah nilai-nilai moral yang berasal dari Sang Khalik sendiri (wahyu). Dalam lingkungan sosialnya setiap individu akan selalu berhadapan dengan konflik karena perbedaan pandangan terhadap suatu nilai-nilai moral. Untuk itu perlu tahapan untuk menilai suatu nilai moral dengan melihat norma-norma yang lebih tinggi. Misalnya: 1. Konflik antar karyawan-karyawan, bawahan-atasan, atasan-atasan, dan lain-lain, dalam mengatasinya harus mengikuti norma di perusahaannya, yaitu Anggaran Dasar dan Angaran Rumah Tangga. 2. Konflik antara karyawan dengan perusahaan kadangkala tidak dapat diselesaikan dengan menggunakan AD/ART, maka mereka akan meninjau norma yang lebih tinggi lagi, yaitu Peraturan Pemerintah atau Undang-Undang. 3. Undang-Undang yang menaungi aturan tersebut dianggap bersifat diskriminatif, maka harus ditinjau norma yang lebih tinggi lagi yaitu UUD. 4. UUD bukanlah hal yang haram untuk diubah jika bertentangan dengan nilai-nilai moral. Demikianlah tindakan yang harus dilakukan oleh antar individu atau dengan lingkungan sosialnya agar konflik-konflik dapat diatasi dengan baik, yaitu dengan melakukan pencarian norma-norma yang lebih tinggi lagi sampai kepada norma tertinggi yaitu nilai-nilai moral itu sendiri.[12] 

BAB III
PENUTUP

etika bisnis adalah studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan yang salah. Studi ini berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan, institusi, dan perilaku bisnis. Prinsip-prinsip yang berlaku dalam bisnis yang baik sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kita sebagai manusia, dan prinsip-prinsip ini sangat erat terkait dengan sistem nilai yang dianut oleh masing-masing masyarakat. Sonny Keraf (1998) menjelaskan, bahwa prinsip etika bisnis sebagai berikut:
1). Amanah atau Prinsip otonom
2). Prinsip kejujuran
3). Prinsip keadilan
4). Toleransi atau Prinsip saling menguntungkan
5). Prinsip integritas moral
Etika dalam implementasinya selalu dipengaruhi oleh faktor agama dan budaya. Faktor budaya dan agama mempengaruhi proses perumusan etika bisnis dalam dua hal: (1) Agama dan budaya dianggap sebagai sumber utama hukum, peraturan dan kode etik. (2) Agama dan budaya lebih independen. Etika bisnis Islami merupakan tatacara pengelolaan bisnis berdasarkan Al-Qur'an dan hadist, dan hukum yang telah dibuat oleh para ahli fiqih. Pendekatan kebudayaan didasarkan pada pengertian dari Edgar J. Schein, budaya adalah pola asumsi-asumsi dasar yang ditemukan, diciptakan, atau dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu dengan maksud agar organisasi belajar mengatasi atau menanggulangi masalah-masalah yang timbul akibat adaptasi eksternal dan integrasi internal yang sudah berjalan cukup baik, sehingga perlu diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar untuk memahami, memikirkan, dan merasakan berkenaan dengan masalah tersebut.



BAB IV
Daftar pustaka

Lukman Agung, menjadi kaya bersama rasulullah, Jogjakarta, DIVA Press, 2007
Arijanto agus, Etika bisnis bagi pelaku bisnis, Jakarta, Pt Raja grafindopersada, 2012
Dr.Asraf, Meneladani keunggulan bisnis rasulullah, semarang:pustaka nuun, 2008
http://dwiajisapto.blogspot.com/2011/10/etika-bisnis-di-indonesia-melalui.html
Dr. Taha Jabir, Bisnis Islam, Yogyakarta, AK group, 2005
Nachrawie AS, Menggapai rizqi dengan berbisnis yang barokah, delta prima press, 2011










[1] Lukman Agung, menjadi kaya bersama rasulullah, Jogjakarta, DIVA Press, 2007, Hal 70
[2] Arijanto agus, Etika bisnis bagi pelaku bisnis, Jakarta, Pt Raja grafindopersada, 2012, hal 3
[3] Arijanto agus, Etika bisnis bagi pelaku bisnis, Jakarta, Pt Raja grafindopersada, 2012, hal 5
[4]Dr.Asraf, Meneladani keunggulan bisnis rasulullah, semarang:pustaka nuun, 2008,  Hal 58-74
[5] http://dwiajisapto.blogspot.com/2011/10/etika-bisnis-di-indonesia-melalui.html
[6] Ibid
[7] Arijanto agus, Etika bisnis bagi pelaku bisnis, Jakarta, Pt Raja grafindopersada, 2012, hal 42-44

[8] Arijanto agus, Etika bisnis bagi pelaku bisnis, Jakarta, Pt Raja grafindopersada, 2012, hal 41
[9] Dr. Taha Jabir, Bisnis Islam, Yogyakarta, AK group, 2005 Hal 36
[10] Nachrawie AS, Menggapai rizqi dengan berbisnis yang barokah, delta prima press, 2011, hal 44-47
[11] Dr.Asraf, Meneladani keunggulan bisnis rasulullah, semarang:pustaka nuun, 2008,1 41-159
[12] http://dwiajisapto.blogspot.com/2011/10/etika-bisnis-di-indonesia-melalui.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar