BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar
Belakang
Dahulu kala, orang melakukan perikatan dengan yang lain guna memenuhi
kebutuhan hidupnya dengan cara barter (penukaran barang dengan barang), lalu
berubah menjadi penukaran barang dengan uang barang dan kemudian berganti
menjadi barang dengan uang.
Ternyata perkembangan zaman sudah merubah peradaban cara hidup manusia
memenuhi kebutuhannya. Tidak hanya melakukan transaksi (akad) secara langsung,
tapi juga bisa dengan kredit, dan lain-lain bahkan ada perjanjian secara
tertulis sebelum diadakan perikatan pemenuhan kebutuhan tersebut.
Akibat kian hari kian banyak pula kebutuhan yang harus dipenuhi yang
tidak diiringi dengan jumlah pendapatan, maka lahirlah ingkar janji dari suatu
kesepakatan yang telah dibuat yang dinamakan Wanprestasi yang tentunya tidak
lain merugikan pihak kreditur, baik perjanjian itu berupa sepihak (cuma-cuma)
maupun timbal-balik (atas beban).
B.Rumusan Masalah
1. Apa pengertian
wanprestasi?
2. Apa pengertian somasi
wanprestasi?
3. Bagaimana sebab dan
akibat wanprestasi?
4. Bagaimana penyelesaian
sengketa wanprestasi di pengadilan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
Menurut pasal 1234 KUH
Perdata yang dimaksud dengan prestasi adalah seseorang yang menyerahkan sesuatu,
melakukan sesuatu dan tidak melakukan sesuatu, sebaliknya dianggap wanprestasi
apabila seseorang:
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan
dilakukannya
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi
tidak sebagaimana dijanjikan
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi
terlambat
4. Melakukan sesuatu yang menurut kontrak
tidak boleh dilakukannya.[1]
Wanprestasi mempunyai hubungan erat dengan somasi. Wanprestasi adalah
tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan
dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur. Dalam restatement
of the law of contracts (Amerika Serikat) wanprestasi atau breach
of contracts
dibedakan menjadi dua macam, yaituTotal Breachtsdan Partial
Breachts. Total breachtsartinya
pelaksanaan kontrak tidak mungkin dilaksanakan, sedangkan Partial
breachtsartinya pelaksanaan perjanjian masih mungkin
untuk dilaksanakan.
Seorang
debitur baru dikatakan wanprestasi apabila ia telah diberikan somasi oleh
kreditur atau Juru Sita. Somasi itu minimal telah dilakukan sebanyak tiga kali
oleh kreditur atau Juru sita. Apabila somasi itu tidak diindahkannya, maka
kreditur berhak membawa persoalan itu ke pengadilan. Dan pengadilanlah yang
akan memutuskan, apakah debitur wanprestasi atau tidak.[2]
B. Somasi Wanprestasi
Somasi adalah pemberitahuan atau
pernyataan dari kreditur kepada debitur yang berisi ketentuan bahwa kreditur
menghendaki pemenuhan prestasi seketika atau dalam jangka waktu seperti yang
ditentukan dalam pemberitahuan itu dengan kata lain somasi adalah
peringatan agar debitur melaksanakan kewajibannya sesuai dengan tegoran
kelalaian yang telah disampaikan kreditur kepadanya.
Menurut
pasal 1238 KUH Perdata yang menyatakan bahwa:
“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai,
atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si
berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.
Dari
ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa debitur dinyatakan wanprestasi
apabila sudah ada somasi (in gebreke
stelling).
Adapun
bentuk-bentuk somasi menurut pasal 1238 KUH Perdata adalah:[3]
1. Surat perintah
Surat perintah tersebut berasal dari hakim yang biasanya berbentuk
penetapan. Dengan surat penetapan ini juru sita memberitahukan secara lisan kepada debitur
kapan selambat-lambatnya dia harus berprestasi. Hal ini biasa disebut “exploit
juru Sita”
2. Akta sejenis
Akta
ini dapat berupa akta dibawah tangan maupun akta notaris.
3. Tersimpul dalam
perikatan itu sendiri
Maksudnya
sejak pembuatan perjanjian, kreditur sudah menentukan saat adanya wanprestasi.
Dalam
perkembangannya, suatu somasi atau teguran terhadap debitur yang melalaikan
kewajibannya dapat dilakukan secara lisan akan tetapi untuk mempermudah
pembuktian dihadapan hakim apabila masalah tersebut berlanjut ke pengadilan
maka sebaiknya diberikan peringatan secara tertulis.
Ada
lima macam peristiwa yang tidak mensayaratkan pernyataan lalai yaitu:
1. Debitur menolak
pemenuhan
Seorang kreditur tidak perlu mengajukan somasi
apabila debitur menolak pemenuhan prestasinya sehingga kreditur boleh
berpendirian bahwa dalam sikap penolakan demikian suatu somasi tidak akan
menimbulkansuatu perubahan.
2. Debitur mengakui
kelalaiannya
Pengakuan demikian dapat terjadi secara tegas akan
tetapi juga secara implisit (diam-diam), misalnya dengan menawarkan ganti rugi.
3. Pemenuhan prestasi
tidak mungkin dilakukan
Debitur lalai tanpa adanya somasi, apabila prestasi
tidak mungkin dilakukan, misalnya karena debitur kehilangan yang harus
diserahkan atau barang tersebut musnah.
4. Pemenuhan tidak
berarti lagi
Tidak perlukannya somasi apabila kewajiban debitur
untuk memberikan atau melakukan, hanya dapat diberikan atau dilakukan dalam
batas waktu tertentu yang dibiarkan lampau.
5. Debitur melakukan
prestasi tidak sebagaimana mestinya.
Kelima cara tersebut
tidak perlu dilakukan somasi oleh kreditur kepada debitur, debitur dapat
langsung dinyatakan wanprestasi.[4]
C. Sebab dan Akibat Wanprestasi
Wanprestasi
terjadi disebabkan oleh hal-hal
sebagai berikut:
1. Kesengajaan
atau kelalaian debitur itu sendiri
Unsur kesengajaan ini, timbul dari pihak itu
sendiri. Jika ditinjau dari wujud-wujud wanprestasi, maka faktornya adalah:
a. Tidak memiliki itikad baik, sehingga prestasi
itu tidak dilakukan sama sekali;
b. Faktor keadaan yang bersifat general;
c. Tidak disiplin sehingga melakukan prestasi
tersebut ketika sudah kedaluwarsa;
d. Menyepelekan perjanjian.
2. Adanya
keadaan memaksa (overmacht)
Biasanya, overmacht terjadi karena unsur
ketidaksengajaan yang sifatnya tidak diduga. Ketentuan ini memberikan
kelonggaran kepada debitur untuk tidak melakukan penggantian biaya, kerugian
dan bunga kepada kreditur oleh karena suatu keadaan yang berada d luar
kekuasaaannya. Ada tiga hal yang menyebabkan debitur tidak melakukan
penggantian biaya, kerugian dan bunga, yaitu:
a. Adanya suatu hal yang tak terduga
b. Terjadinya secara kewbetulan, dan atau
c. Keadaan memaksa.[5]
Ada empat akibat adanya wanprestasi, yaitu
sebagai berikut:
1. Perikatan tetap ada
2. Debitur harus membayar ganti rugi kepada
kreditur
3. Beban risiko beralih untuk kerugian debitur jika halangan itu timbul setelah debitur
wanprestasi, kecuali bila ada kesenjangan atau kesalahan besar dari pihak
kreditur. Oleh karena itu, debitur tidak dibenarkan untuk berpegang pada
keadaan memaksa.
4.
Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal
balik, kreditur dapat membebaskan diri dari kewajibannya memberikan kontra
prestasi dengan menggunakan pasal 1266 KUH Perdata.[6]
Akibat wanprestasi yang dilakukan debitur, dapat
menimbulkan kerugian bagi kreditur, sanksi atau akibat-akibat hukum bagi
debitur yang wanprestasi ada 3
macam, yaitu:
1. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur
(ganti rugi)
ganti rugi karena wanprestasi adalah suatu bentuk ganti rugi yang
dibebankan kepada debitur yang tidak memenuhi isi perjanjian yang telah dibuat
antara kreditur dengan debitur. Momentum timbulnya ganti rugi ini pada saaat
telah dilakukan somasi. Ganti kerugian yang dapat dituntut oleh kreditur kepada
debitur adalah sebagai berikut:
a. Kerugian yang telah dideritanya, yaitu berupa
penggantian biaya-biaya dan kerugian
b. Keuntungan yang sedanya akan diperoleh, ini
ditujukan kepada bunga-bunga.[7]
2. Pembatalan
perjanjian atau pemecahan perjanjian
Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan untuk membawa
kedua belak pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Kalau satu
pihak sudah menerima sesuatu dari pihak yang lain, baik uang maupun barang maka
harus dikembalikan sehingga perjanjian itu ditiadakan.
3. Peralihan risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jka terjadi
suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan
menjadi obyek perjanjian sesuai dengan pasal 1237 KUH Perdata. Oleh karena itu
dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu maka barang
itu semenjak perikatan dilahirkan adalah atas tanggungan (risiko) si berpiutang (pihak yang menerima
barang).[8]
D.Penyelesaian Sengketa
Wanprestasi di Pengadilan
Karena
wanprestasi mempunyai akibat-akibat yang begitu penting, maka harus ditetapkan
lebih dahulu apakah si berutang melakukan wanprestasi atau lalai, dan kalau hal
itu disangkal olehnya, maka harus dibuktikan di muka hakim. Pengajuan ke
pengadilan tentang wanprestasi dimulai dengan adanya somasi yang dilakukan oleh
seorang jurusita dari pengadilan, yang membuat proses verbal tentang
pekerjaannya itu, atau juga cukup dengan surat tercatat atau surat kawat, asal
saja jangan sampai dengan mudah dimungkiri oleh si berutang.
Kadang-kadang
juga tidak mudah untuk mengatakan bahwa seseorang lalai atau alpa, karena
seringkali juga tidak dijanjikan dengan tepat kapan sesuatu pihak diwajibkan
melakukan wanprestasi yang dijanjikan.
Di pengadilan, kreditur harus sebisa mungkin membuktikan bahwa
lawannya (debitur) tersebut telah
melakukan wanprestasi, bukan overmacht. Begitu pula dengan debitur, debitur
harus meyakinkan hakim jika kesalahan bukan terletak padanya dengan pembelaan
seperti berikut:
1. Overmacht;
2. Menyatakan bahwa
kreditur telah melepaskan haknya; dan
3. Kelalaian kreditur.
Jika debitur tidak terbukti melakukan wanprestasi, maka kreditur tidak
bisa menuntut apa-apa dari debitur tersebut.Tetapi jika yang diucapkan kreditur
di muka pengadilan terbukti, maka kreditur dapat menuntut:
1. Menuntut hak pemenuhan perjanjian;
2. Menuntut hak pemenuhan perjanjian berikut
dengan ganti rugi sesuai Pasal
1246 KUHPerdata yang menyatakan, “biaya,
ganti rugi dan bunga, yang boleh dituntut kreditur, terdiri atas kerugian yang
telah dideritanya dan keuntungan yang sedianya dapat diperolehnya”.
Berdasarkan pasal 1246 KUHPerdata tersebut, dalam wanprestasi, penghitungan
ganti rugi harus dapat diatur berdasarkan jenis dan jumlahnya secara rinci
seperti kerugian kreditur, keuntungan yang akan diperoleh sekiranya perjanjian
tesebut dipenuhi dan ganti rugi bunga (interst).[9]
a. Ganti biaya yaitu mengganti pengeluranan yang
dikeluarkan kreditur;
b. Ganti rugi yaitu mengganti barang-barang rusak; dan
c. Ganti bunga yaitu mengganti keuntungan yang seharusnya didapat.
3. Pembatalan perjanjian
Dalam hal pembatalan perjanjian, banyak pendapat yang mengemukakan bahwa
pembatalan ini dilakukan oleh hakim dengan mengeluarkan putusan yang bersifat declaratoir. Hakim juga mempunyai suatu
kekuasaan yang bernama “discretionair”,
artinya ia berwenang untuk menilai wanprestasi debitur. Apabila kelalaian itu
dianggapnya terlalu kecil, hakim berwenang untuk menolak pembatalan perjanjian
meski ganti rugi yang diminta harus dituluskan.
4. Pembatalan perjanjian disertai ganti rugi;
5. Meminta/ menuntut ganti rugi saja.
Dan hak-hak yang dituntut oleh kreditur dicantumkan pada bagian petitum
dalam surat gugatan.Jika debitur tidak bisa membuktikan bahwa ia tidak
melakukan wanprestasi tersebut, maka biaya perkara seluruhnya dibayar oleh
debitur.[10]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Wanprestasi mempunyai hubungan erat dengan somasi. Wanprestasi adalah
tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan
dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur. Somasi adalah pemberitahuan atau pernyataan dari kreditur kepada debitur
yang berisi ketentuan bahwa kreditur menghendaki pemenuhan prestasi seketika
atau dalam jangka waktu seperti yang ditentukan dalam pemberitahuan itu dengan
kata lain somasi adalah peringatan agar debitur melaksanakan
kewajibannya sesuai dengan tegoran kelalaian yang telah disampaikan kreditur
kepadanya.
Sebab wanprestasi ada dua, yaitu kelalaian atau kesengajaan dan keadaan
memaksa.
Ada empat akibat adanya wanprestasi, yaitu sebagai berikut:
·
Perikatan tetap ada
·
Debitur harus membayar ganti rugi kepada kreditur
·
Beban risiko beralih untuk kerugian debitur
·
Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal
balik, kreditur dapat membebaskan diri dari kewajibannya memberikan kontra
prestasi dengan menggunakan pasal 1266 KUH Perdata
Sanksi atau akibat-akibat hukum bagi debitur
yang wanprestasi ada 3
macam, yaitu:
·
Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur (ganti rugi)
·
Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian
·
Peralihan risiko.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul R Saliman, Hermansya dan Ahmad Jalis, Hukum Bisnis Untuk
Perusahaan, Kencana, Jakarta, 2005
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simangunsong, Hukum Dalam Ekonomi,
PT Grasindo, Jakarta, 2007
Pramono, Nindyo,Hukum Komersi,. Cetakan Pertama, Pusat
Penerbitan UT, Jakarta, 2003
Salim H.S, Hukum Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2003
LAMPIRAN CONTOH WANPRESTASI
Sebut saja A,
meminjamkan uangnya kepada B dengan bunga yang disetujui kedua belah pihak
sebesar 13 %. Perjanjian tersebut dilakukan dengan lisan (tanpa perjanjian
tertulis), A berasumsi bahwa perjanjian lisan ini dapat ditepati oleh B (karena
A percaya sepenuhnya kepada B, dikarenakan B masih ada hubungan keluarga dengan
A; B adalah istri dari sepupu kandung A)
Hubungan Pinjam
meminjam berlangsung sampai mencapai angka rupiah yang cukup besar (sekitar 60 jutaan),
A terus meminjamkan karena tergiur oleh bunga yang disepakatinya. Sampai pada
batas waktu tertentu A sadar akan kondisi keuangannya, A lalu menagih pinjaman
uang tersebut kepada B. B berjanji akan membayar pada tanggal yang sudah
ditentukan, tetapi selalu ada alasan (seperti dirampok, kecopetan dll).
Suatu saat A menagih
kembali kepada B, B dengan yakin menjawab bahwa sebagian uang tersebut sudah
dikirim via ATM BCA ke no. rek A (bukti transfer ATM BCA dikirim lewat Fax ke
kantor A), tetapi setelah diperiksa (lewat print out) uang tersebut tidak ada,
menurut petugas bank bukti transfer ini tidak benar atau palsu. A dan keluarga
(saudara-saudaranya) datang ke rumah B, kesimpulan yang didapat dari kunjungan
tersebut B bersedia membuat pernyataan yang isinya menyatakan bahwa B mengakui
memiliki hutang kepada A sebesar sekian juta rupiah dan akan dilunasi pada
tanggal X bulan Y tahun 2014.
Apabila B tidak
melunasi pada tanggal tersebut maka persoalan akan diselesaikan melalui jalur
hukum. Surat pernyataan tersebut ditandatangani pula oleh suaminya B sebagai
penanggungjawab. Pada tanggal yang sudah ditentukan B hanya membayar kurang
lebih 25 % dengan alasan 75 %-nya sudah dibayar cash kepada A pada waktu lalu
yang dibawa sendiri oleh B ke kantor A. Menurut pengakuan A hal tersebut tidak
pernah terjadi, sampai A pun berani diangkat sumpah. Sampai saat ini B selalu
mencari-cari kesalahan A, dan pernah pada suatu hari B telepon ke kantor A dan
mengaku dari Polda untuk menangkap A.
Transaksi yang
melandasi semua kejadian tersebut di atas adalah hubungan pinjam-meminjam uang
(hutang-piutang). Dokumen yang menyatakan adanya hubungan tersebut adalah surat
pernyataan yang dikeluarkan oleh B dengan persetujuan dari suaminya. Persoalan
hukum timbul terletak pada pelaksanaan kewajiban pembayaran atau pelunasan
jumlah-jumlah hutang yang wajib dibayar oleh B kepada A berdasarkan surat
pernyataan tersebut, dimana B hanya membayar 25% dan sisanya 75% dia menganggap
telah membayar kepada A dan sebaliknya A merasa tidak pernah menerima sisa
jumlah tersebut.
Kemungkinan untuk
berdamai dengan B rasanya sudah tertutup, mengingat B kelihatan sudah tidak
memiliki itikad baik untuk melunasi utangnya. Alternatif yang bisa ditempuh
oleh A adalah mengajukan gugatan secara perdata atas dasar wanprestasi atau
perbuatan melawan hukum.
Apabila A akan
mengajukan gugatan atas dasar wanprestasi maka A harus bisa membuktikan adanya
isi perjanjian yang dilanggar oleh B. Perjanjian disini tidak harus tertulis,
bisa saja perjanjian lisan. Yang penting A bisa menyiapkan bukti-bukti yang
menunjukkan adanya perjanjian atau konsensus antara A dan B.
Bukti-bukti yang
disiapkan oleh A juga tidak harus tertulis, karena dalam hukum acara perdata
ada 5 macam, yaitu bukti surat, bukti saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah.
Namun bukti yang paling kuat adalah bukti surat. Alangkah baiknya kalau bukti
pengakuan utang yang tertulis dan bukti tidak adanya transfer uang ada pada A
sehingga bisa disiapkan untuk persidangan. Kalaupun ternyata A tidak memilki
bukti-bukti tertulis, sebaiknya disiapkan bukti-bukti yang lain, misalnya bukti
saksi.
Kalau A bisa
membuktikan telah terjadi perjanjian dan adanya isi perjanjian yang dilanggar,
maka A sudah bisa mengajukan gugatan atas dasar wanprestasi. Yang perlu
disiapkan juga adalah bukti bahwa sudah ada upaya dari A untuk meminta kepada B
agar memenuhi perjanjian (lihat pasal 1243 KUHPerdata). A bisa meminta kepada
pengadilan agar mengeluarkan peringatan (anmaning) terhadap B untuk memenuhi
isi perjanjian. Bisa juga si B langsung mengirimkan peringatan sendiri tanpa
melalui pengadilan dalam bentuk somasi.
Di gugatan tersebut
A bisa menuntut B agar membayar ganti rugi ditambah bunga dan keuntungan yang
sekiranya didapat seandainya B melaksanakan perjanjian. Kalau bunga tidak
diperjanjikan secara tertulis, A kemungkinan hanya mendapat 6% (bunga menurut
undang-undang).
A juga bisa
mengajukan gugatan atas dasar perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh B.
Kalau B mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum, A harus bisa membuktikan
adanya perbuatan B yang tidak sesuai dengan kaedah hukum (baik tertulis maupun
tidak tertulis), kaedah sopan santun dan kaedah kesusilaan. Perbuatan B yang
meminjam uang kepada A tanpa mau mengembalikan jelas merupakan perbuatan yang
melanggar kaedah hukum, sopan santun dan kesusilaan.
Kalau A mengajukan
gugatan perbuatan melawan hukum, A juga harus dapat membuktikan adanya kerugian
yang A terima. Besarnya ganti rugi nanti ditentukan oleh Hakim.
R. Subekti
mengemukakan bahwa “menurut pendapat yang paling banyak dianut, bukannya
kelalaian debitur, tetapi putusan hakimlah yang membatalkan perjanjian,
sehingga putusan hakim itu bersifat constitutive dan bukannya declanatoir.
- Keadaan Memaksa (Overmacht)
Overmacht adalah keadaan dimana debitur terhalang
dalam memenuhi prestasinya karena suatu keadaan yang tak terduga lebih dahulu
dan tidak dapat dipertanggungkan kepadanya, debitur dibebaskan untuk
membayar ganti rugi dan bunga.
Akibat overmacht,
yaitu:
- Kreditur tidak dapat meminta pemenuhan prestasi;
- Debitur tidak dapat lagi dinyatakan
lalai;
- Risiko tidak beralih kepada debitur.
- 3. Risiko
Risiko adalah kewajiban memikul kerugian
yang disebabkan karena suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak. Misalkan
seseorang menjanjikan akan memberikan seekor kuda (schenking) dan kuda
ini sebelum diserahkan mati karena disambar petir. Dari contoh peristiwa
tersebut dapat dilihat bahwa persoalan risiko itu berpokok pangkal
pada terjadinya perjanjian. Dengan kata lain berpokok pangkal pada kejadian
yang dalam hukum perjanjian dinamakan keadaan memaksa. Persoalan risiko
adalah buntut dari wanprestasi.
- Hapusnya Perjanjian
Hal-hal yang
dapat menghapuskan perjanjian berdasarkan KUHPerdata ada 10 macam. 8 hal diantaranya
diatur dalam buku III Bab IV KUHPerdata, satu hal dalam bab I dan satu hal lagi
diatur dalam buku IV Bab I. 10 hal yang dapat menghapuskan perikatan tersebut
antara lain:
- Pembayaran
Yang
dimaksud dengan pembayaran adalah setiap pelunasan perikatan seperti penyerahan
barang oleh penjual, pemenuhan persetujuan kerja oleh buruh, dan lain-lain.
Pada
umumnya, dengan dilakukannya pembayaran, perikatan menjadi hapus, tetepi ada
kalanya bahwa perikatan tetap ada dan pihak ketiga menggantikan kedudukan kreditur
semula (subrograsi)
- Penawaran pembayaran diikuti
penitipan
Undang-undang
memberikan kemungkinan kepada debitur yang tidak dapat melunasi utangnya
karena tidak mendapatkan bantuan kreditur untuk membayar utangnya dengan
jalan penawaran pembayaran diikuti dengan penitipan.
- Pembaruan Utang (Novasi)
Novasi adalah suatu persetujuan yang
menyebabkan hapusnya perikatan dan pada saat yang bersamaan timbul perikatan
lainnya yang ditempatkan sebagai pengganti perikatan semula.
Ada tiga
macam novasi, yaitu:
1)
Novasi objektif, dimana perikatan yang telah ada diganti dengan
perikatan lain
2)
Novasi subjektif pasif, dimana debiturnya diganti oleh debitur
lain
3)
Novasi subjektif aktif, dimana krediturnya diganti oleh kreditur
lain.
- Perjumpaan Utang (Kompensasi)
Kompensasi merupakan salah satu cara hapusnya
perikatan yang disebabkan oleh keadaan, dimana dua orang masing-masing
merupakan debitur satu dengan lainnya.
- Pencampuran Utang
Percampuran
utang dapat terjadi karena kedudukan kreditur dan debitur bersatu
dalam diri satu orang misalnya kreditur meninggal dan debitur
merupakan satu-satunya ahli waris.
- Pembebasan Utang
Pembebasan
utang adalah perbuatan hukum dimana dengan itu kreditur melepaskan
haknya untuk menagih piutangnya dari debitur.
- Musnahnya Barang yang Berutang
Menurut
Pasal 1444 KUHPerdata:
“Jika suatu
barang tertentu yang dimaksudkan dalam perjanjian hapus atau karena suatu
larangan yang dikeluarkan oleh pemerintah, tidak boleh diperdagangkan atau
hilang hingga tidak terang keadaannya, maka perikatan menjadi hapus, asal saja
hapus atau hilangnya barang itu sama sekali di luar kesalahan si berhutang dan
sebelumnya ia lalai menyerahkannya.”
Bahkan
meskipun ia lalai menyerahkan barang itu, ia pun akan bebas dari perikatan
apabila ia dapat membuktikan bahwa hapusnya barang itu disebabkan oleh suatu
kejadian di luar kekuasaannya. Barang tersebut juga akan menemui nasib yang
sama seandainya barang itu sudah berada di tangannya si berpiutang.
- Kebatalan dan Pembatalan
Perikatan
Bidang
kebatalan dapat dibagi dalam 2 (dua) hal pokok, yaitu:
1)
Batal demi hukum
2)
Dapat dibatalkan
Batal demi
hukum terjadi bila kebatalannya didasarkan undang-undang, sedangkan dapat
dibatalkan baru mempunyai akibat setelah ada putusan hakim yang membatalkan
perbuatan tersebut. Sebelum ada putusan, perbuatan hukum yang bersangkutan
tetap berlaku.
- Syarat Membatalkan
Yang
dimaksud syarat membatalkan disini adalah ketentuan isi perjanjian yang
disetujui oleh kedua belah pihak, syarat mana jika dipenuhi mengakibatkan
ikatan itu batal, sehingga perikatan itu menjadi hapus.
- Daluwarsa
Daluwarsa
adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu
perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syaratnya yang
ditentukan oleh undang-undang.
Daluwarsa
selain sudah ditentukan undang-undang juga dapat diperjanjikan oleh para pihak
dalam perjanjian para pihak dapat memperjanjikan lamanya jangka waktu daluwarsa
dengan syarat harus lebih pendek dari yang ditetapkan oleh undang-undang.
Ada dua
macam daluwarsa, yaitu:
1)
Lampau waktu untuk memperoleh hak milik atas suatu barang
2)
Lampau waktu untuk dibebaskan dari suatu perikatan.
1)
Mengakhiri sewa atas alasan mau dipakai sendiri barang yang disewakan, kecuali
hal ini telah ditentukan lebih dulu dalam perjanjian.
2)
Pasal 1575 KUHPerdata : perjanjian sewa-menyewa tidak hapus atau tidak berhenti
dengan meninggalnya salah satu pihak. Meninggalnya pihak yang menyewakan tidak
menyebabkan hapusnya perjanjian sewa-menyewa. Perjanjian dapat dilanjutkan oleh
masing-masing ahli waris.
3)
Pasal 1585 KUHPerdata : sewa-menyewa perabot rumah tangga yang akan dipakai
pada sebuah rumah atau pada sebuah toko, bengkel maupun dalam suatu ruangan, harus
dianggap berlaku untuk jangka waktu yang sesuai lamanya dengan perjanjian
sewa-menyewa atas rumah, toko, bengkel dan ruangan itu sendiri.
4)
Pasal 1586 KUHPerdata : sewa-menyewa kamar beserta perabotnya jika sewanya
dihitung pertahun, perbulan, perminggu atau perhari, harus dianggap berjalan
untuk satu tahun, satu bulan, satu minggu dan satu hari. Jika tidak nyata harga
sewa apakah untuk tahunan, bulanan, mingguan atau harian harga sewa harus
dipandang sudah diperjanjikan sesuai dengan kelaziman setempat.
[1]Abdul R Saliman, Hermansya, dan Ahmad Jalis, Hukum Bisnis Untuk
Perusahaan, Kencana, Jakarta, 2005, hlm.44.
[2]Salim H.S, Hukum Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hlm.98-99
[3]
Nindyo, Pramono, Hukum Komersil, 2003, Pusat Penerbitan UT, Jakarta,
hlm.22
[8]Elsi Kartika Sari dan Advendi Simangunsong, Hukum Dalam Ekonomi,
2007, PT. Grasindo, Jakarta, hlm.34